SUDAH RAMADHAN LAGI. Sudah harus puasa lagi. Hiruk pikuk budaya ramadlan ditabuh di jalan, di televisi, di koran-koran. Bulan-bulan di luar ramadlan di mana hati teler kemrungsung menjilati air liur dunia, kembali mendapat momentum psikologis, inilah saat yang tepat berganti baju meskipun isi dan esensinya tetap sama: ramai-ramai memanjakan sikap konsumtif.
Manusia telah tiba pada kesadaran bahwa pergeseran hari, minggu, bulan, tahun tidak menawarkan apapun selain ketidak-mengertian yang dipestakan lebih meriah.
Puasa dipahami 'puasa' makan 'puasa' minum. Hiruk pikuk budaya ramadlan tetap berjalan dengan logika ekonomi pasar yang menyerap nafsu primitif ratusan juta manusia.
Merawat keheningan selama ramadlan sungguh susah bukan main. Maka, wahai para shaimun sejati, jangan mengharap hadirnya keheningan ramadlan di sekitarmu. Engkau sendiri harus melemparkan hatimu ke situasi hening yang sedapat mungkin engkau rawat.
Bulan ramadlan datang dengan cahaya yang gilang gemilang. Menelusupi pori-pori ruang dan waktu, menghentakkan debat panjang kita tentang kebenaran yang gelap. Kita terkaget-kaget. Kita belum memiliki seperangkat ilmu untuk mengolah cahaya ramadlan. Bergegas kita menyiapkan pesta panjang sebulan penuh dalam gegap gempita buka bersama, sahur bersama, kotekan bersama, kenyang bersama: sebuah pesta upacara kebudayaan yang kehilangan spirit ketaqwaan. Kita akhiri pesta kebudayaan ramadlan dengan sebuah doa yang khusyuk, "Allahumma laka shumtu. Ya Allah bagimu aku persembahkan puasaku."
Kita memang mudah terjebak pada ritual ibadah mahdloh dimana agama hanya berurusan dengan Tuhan, malaikat, setan, surga, dan neraka. Sedang bagaimana cara kita beramal sosial, menjalin ukhuwah dengan sesama, dengan alam lingkungan, kita berguru saja pada tayangan televisi.
Apapun tingkat puasamu itu urusanmu dengan Allah. Yang penting sekarang adalah apa produk sosial dari puasamu. Apa produk sosial dari syahadatmu. Apa produk sosial dari shalat, zakat, dan hajimu?
Kita mendambakan keabadian dengan mengejar apa saja yang kita sangka abadi. Kita ingin abadi dalam harta berlimpah, abadi dalam jabatan, abadi dalam cendekia ilmu-ilmu, abadi dalam rupa tampan dan kecantikan. Yang disangka abadi justru menarik tangan kita ke lembah fana.
Agama dijadikan alat pemuas nafsu memburu keabadian meraih surga pribadi, sementara orang lain tak apalah terkapar di neraka. Kita suap Tuhan dengan ritua-ritual egois yang membutakan mata hati bahwa Tuhan justru hadir dan duduk bersama mereka yang sengsara hidupnya.
Seandainya tongkat Nabi Musa dilelang kita pasti berebut menawarnya dengan harga tertinggi. Dengan itu tongkat kita bisa menyelenggarakan wisata bahari yang dasyat. Mukjizat Tuhan akan dengan gampang kita komersialkan.
Tiba-tiba aku dibentak oleh suara.