Pertanyaan yang mengganjal di benak saya adalah apa kriteria seseorang disebut pribumi? Siapa yang menentukan Anda pribumi, sementara Anda yang lain bukan pribumi? Tidak perlu dijawab sekarang dan tidak harus dijawab, karena tulisan ini juga tidak sedang menjawab pertanyaan itu.
Saya hanya merasa gatal saja oleh, lagi-lagi, situasi gaduh, seolah-olah kita tidak memiliki pekerjaan selain menciptakan kegaduhan. Seekor ayam bisa saja menyadari burung elang lebih unggul darinya. Lalu segerombolan ayam melakukan diskontinuasi sejarah untuk meng-elang-kan diri mereka. Keributan antar ayam pasti tak terelekkan—bukan terutama karena terjadi kontroversi, melainkan irasionalitas itu disadari sebagai puncak rasionalitas.
Saya mencium irasionalitas semacam itu ketika pribumi dan non pribumi dipolitisasi secara sepihak. Diksi “pribumi” ditimpa konotasi yang liar—seakan sengaja dipasang berhadapan dengan non pribumi. Kita memang terbiasa berpikir secara serampangan. Kita mencari “siapa” yang salah, bukan “apa” yang salah.
Apa yang salah itu maksudnya kita tidak melakukan kontinuasi sejarah masa lalu untuk menemukan sangkan paran. Kita seperti tiba-tiba lahir begitu saja dan langsung beranjak dewasa di sebuah negeri bernama Indonesia. Kita adalah 9 yang tidak menyadari 8, 7,…3, 2, 1.
Melacak "Se-Pribumi" Apakah Kita?
Istilah pribumi bisa dilacak dengan mempertimbangkan, misalnya bagaimana Hindia-Belanda membentuk kelas-kelas sosial. Kelas paling bawah adalah “pribumi” yang dihuni orang Betawi, Jawa, Sunda, Bugis dan seterusnya. Atau kita mundur beberapa abad hingga zaman sebelum Majapahit.
Pemetaan genetik yang dilakukan Genographic bisa juga dijadikan rujukan. Komposisi genetik penduduk Indonesia adalah 6 persen Arab, 6 persen Afrika, 5 persen Asia Timur, 74 persen Asia Tenggara dan Oseania, dan 9 persen Asia Selatan. Atau mundur lebih jauh lagi hingga ke anak turun Nabi Sulaiman—dan semua itu tidak untuk bahan eyel-eyelan, waton omong, rebutan bener. Perjalanan olang-alik itu memerlukan akurasi dan validitas penelitian yang terbuka bagi siapa saja agar bangsa Indonesia mengenal genetika sejarahnya.
Kita ini bangsa Garuda ataukah bangsa manuk emprit? Tidakkah kita menyadari upaya “empritisasi” atas bangsa Garuda yang dilakukan secara sistematis dengan memutus kontinuasi sejarah? Sebut saja satu contoh, misalnya mengapa tidak terjadi kontinuasi pendidikan yang pondasinya dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara, kecuali hanya mengadopsi slogan tut wuri handayani? Dimanakah letak wacana keilmuan Ki Ageng Suryomentaram, “Kantong Bolong” Sosrokartono, kode-kode zaman Ranggawarsita dalam konstelasi cara berpikir politik, ekonomi, budaya atau kenegaraan kita?
Bahkan sistem nilai peradaban Nusantara yang sejatinya ditopang oleh kesadaran universal dan berhasil diproyeksikan oleh nenek moyang ke dalam tatanan kehidupan sosial budaya, kita namakan kearifan lokal. Sedangkan di saat yang sama kita terombang-ambing di tengah lautan gelombang universalitas yang membuat kita sibuk dalam pertengkaran-pertengkaran.
Pro-Bumi dan Pro-Kemanusiaan
Maka, saya memilih pro-bumi saja, bumi Nusantara, karena saya tidak mungkin bersikap a-historis. Saya lahir dan besar di bumi Nusantara, di negara Indonesia. Sikap a-historis adalah kalau saya menyangkal fakta sejarah itu lalu menjadi bukan diri saya, baik bukan sebagai manusia, masyarakat dan warga negara. Perangkat sosial budaya harus saya letakkan dan berdiri di atas tanah kenyataan bahwa Jawa-Indonesia adalah tanah kelahiran saya.