Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pasar Tradisional, Pilar Kebudayaan Khas Negeri Nusantara

3 Januari 2017   12:34 Diperbarui: 3 Januari 2017   14:37 3383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.kapanlagi.com

Bicara tentang pasar rakyat bukan sekadar cerita romantisme masa lalu, bukan pula tentang lingkungan kumuh, sampah menggunung, atau bau tak sedap yang menusuk hidung. Pasar rakyat yang dikenal sebagai pasar tradisional seperti nenek tua yang berjalan terseok-seok di tengah laju lalulintas perdagangan modern. 

Ibarat sebuah pohon, pasar rakyat seperti akar yang meranggas di bawah tanah tandus yang kering. Atmosfir modernisasi yang merasuki hampir setiap sendi hidup masyarakat menyudutkan pasar rakyat di pojokan ruang tradisional—pelan namun pasti stigma tradisional mencabut “nyawa” harmoni pasar yang menjadi saksi sejarah kebudayaan bangsa Nusantara.

Dipojokkan oleh stigma penggunaan istilah “rakyat” dan “tradisional”, tempat jual beli khas nusantara itu merefleksikan “nasib” rakyat dan nilai-nilai tradisional yang kerap dikesankan sebagai penghambat laju modernisme. Dalam mata pandang syahwat kekuasaan rakyat adalah setumpuk jumlah suara yang dikalkulasi untuk memenangkan perebutan jabatan. Sedangkan tradisional dikonotasikan sebagai sikap kuno, terbelakang, ndeso, tidak terpelajar, klenik sehingga benalu itu perlu dimodernisasi oleh tata kehidupan yang rasional dan profesional.

Pasar rakyat harus naik tingkat—dari “maqam” tradisional menuju “maqam” modern. Paradigma pembangunan menempatkan struktur nilai tradisional di bawah performa modern, atau bahkan kerap saling dipertentangkan. Sayangnya, upaya mentransformasi “maqam” pasar tradisional tidak cukup sabar dikerjakan oleh pemerintah. Transformasi ini bukan hanya terkait dengan rasionalitas praktek ekonomi, tapi terkait langsung dengan manusia pelaku kebudayaan pasar.

Ringkas kata, pasar rakyat menjadi ajang perkawinan antara tradisi dan budaya modern. Bisa disaksikan dampaknya: pedagang kecil tersingkir, harmoni kemesraan tawar menawar harga digantikan oleh praktek jual beli yang linier, pilar kebudayaan yang menyangga humanisme keropos.

Gurita Minimarket

Transformasi pasar tradisional yang dipanglimai oleh kapitalisme menabung tragedi kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kebudayaan pasar tradisional yang holistik-humanis diperas sedemikian rupa menjadi tetesan-tetesan kepentingan kapitalisasi belaka. Pembeli adalah potensi keuntungan atau laba yang perlu dimobilisasi oleh atmosfir keinginan agar terus membelanjakan uang.

Pasar tradisional pasti bukan wadah yang kondusif untuk melampiaskan nafsu belanja. Bukan terutama karena pasar tradisonal identik dengan ketidaknyamanan berbelanja, melainkan pilar kebudayaan yang menopang pasar tradisional tidak bisa dikawinkan begitu saja dengan nafsu modernisme.

Lalu dibangunlah wadah transaksi berwatak modern untuk mempertemukan “pembeli” dan “barang”—hanya pembeli dan barang. Penjual adalah pemilik modal besar yang cukup “diwakili” oleh Mbak atau Mas Kasir untuk menerima uang. Jual beli menjadi aktivitas yang benar-benar di-shortcut. Masuk minimarket, pilih barang, bayar, pulang. Minimarket—ruangan berisi barang-barang yang didatangi oleh pembeli. Sapaan ucapan selamat datang adalah ucapan yang ditujukan kepada pembeli—yang membawa potensi ekonomi alias uang.

Gerai minimarket pun mengepung kota dan desa. Terhitung pada 2015 Ind**aret memiliki 12.210 gerai. Pesaingnya, Al**mart, pada tahun yang sama menebar 11.115 gerai. Ind**aret mengumpulkan laba hingga Rp758 miliar atau tumbuh 23 persen pada 2015. Sedangkan Al**mart memperoleh laba Rp 464 miliar, turun 24 persen dari 2014.

Tidak ingin kecolongan oleh menjamurnya minimarket dan toko modern, pemerintah membuat aturan main dan perizinan. Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern mengatur sejumlah ketentuan perizinan toko modern oleh pemerintah daerah, zonasi, kondisi sosial masyarakat, keberadaan pasar tradisional, dan usaha kecl di wilayah setempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun