Pukul tiga sore di sekolah dasar swasta. Sebut saja namanya Riska. Siswa kelas empat sekolah dasar itu berjalan gontai menuju halaman parkir sekolah. Tas punggung yang berisi penuh buku pelajaran membebani punggungnya. Riska seperti nenek tua yang terseok-seok memikul kayu bakar.
Sorot mata bocah yang masih sangat belia itu bukan sorot mata ceria seorang bocah. Layu dan lelah. Ia menghempaskan badannya duduk di kursi kayu. Tas punggung masih menempel di badannya. Pulang sekolah bukan saat menggembirakan karena sopir pribadi akan segera menggandeng tangannya, menuntunnya ke mobil, mengantarkannya ke berbagai tempat les privat.
Jadwal sekolah dan les privat yang padat membawanya tiba di rumah menjelang maghrib. Kadang Riska tak sempat ganti baju. Ia langsung ambruk di kursi. Tidur. Tiga puluh menit cukup untuk mimpi bertemu bidadari di taman bunga-bunga. Mama membuyarkan mimpinya. “Guru mengaji sudah menunggu. Bangun, cepat mandi!” kalimat Mama ini telah melekat di telinganya. Mengaji, menyelesaikan PR sekolah, menghafal pelajaran untuk besok pagi akan kembali merebut waktunya sampai jam sembilan malam.
Apabila dihitung sejak kelas satu berarti Riska telah menjalani aktivitas itu selama tiga tahun. Ia tidak mengetahui berapa lama lagi sederet aktivitas yang membosankan akan menyesaki hari-harinya. Riska hanya tahu, sesekali perasaannya ingin menjerit, menjerit sekeras-kerasnya, benar-benar ingin sekali menjerit, sekeras-kerasnya. Keinginan itu selalu urung karena Riska tidak tahu tempat yang aman untuk berteriak. Hanya menjerit yang keras mengapa dilarang?
Anies Baswedan benar. Banyak orangtua menjadikan sekolah sebagai arena untuk memacu prestasi anak layaknya pelari jarak pendek. Sekolah menjelma ajang untuk merebut gengsisosial sekaligus memenangkan kompetisi yang melibatkan siswa. Setali tiga uang. Sekolah dan sikap asuh orangtua pada kasus dan taraf tertentu memicu tekanan mental anak. Stres adalah akibat dari tekanan-tekanan yang “berhasil” disuntikkan.
Madeline Levine, PhD, seorang psikolog dan pendidik di Stanford’s School of Education mengemukakan hasil penelitiannya yang mengejutkan. Penelitian yang ditulis dalam The Price of Privilege(2006) menunjukkan remaja dari keluarga mampu dengan fasilitas belajar tak terbatas dan berhasil meraih nilai yang bagus dalam ujian menghadapi masalah depresi, anxiety disorder, psychosomatic disorder.Mereka juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap obat-obatan dibandingkan dengan remaja dari tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah.
Lebih jauh Levine menunjukkan temuannya bahwa anak-anak yang meraih medali dan banyak piagam—sebagai kebanggaan orangtua medali dan piagam itu dipajang di ruang tamu—hidupnya tidak bahagia. Gairah belajar, pelan namun pasti, menurun.
Sekolah yang menganut paradigma pendidikan“berdaya saing”telah memakan banyak korban. Sekolah yang menganut madzhab berprestasi itu memenangi persaingan dengan mengalahkan lawan agar menjadi nomor satu dan bertujuan semata-mata menjadi pemenang tak terkalahkan, patut disadari menjadi pintu masuk bagi persoalan kemanusiaan yang mencemaskan.
Nilai yang bagus dan prestasi yang tinggi menjadi harga mati, tidak bisa ditawar lagi, ketika anak atau siswa ingin dihargai.
National Sleep Foundation menyatakan sepertiga orangtua mengaku, PR dan aktivitas usai sekolah membuat anak mereka sulit tidur. Jatah kebutuhan istirahat anak pun direbut oleh aktivitas yang sebenarnya tidak dibutuhkan anak. Akan menjadi pemicu persoalan yang serius ketika kekurangan jatah waktu istirahat berlangsung secara terus menerus dalam waktu yang lama.
Lebih dari itu, paradigma pendidikan “berdaya saing” mengikis kepribadian siswa yang otentik. Siswa berada di bawah tekanan pihak lain agar menjadi pribadi yang bukan kepribadiannya. Standarisasi yang dipasang untuk mengukur tercapainya “sumber daya manusia” yang memenuhi kriteria sebagai manusia berkualitas daya saing sesungguhnya dipanglimai oleh kepentingan industrialisme-materialisme. Dehumanisasi pendidikan bukan lagi fakta mencemaskan.