Aku kira: / Beginilah nanti jadinya / Kau kawin, beranak dan berbahagia / Sedang aku mengembara serupa Ahasveros. Pembukaan tulisan ini saya ambil dari puisi Chairil Anwar, Tak Sepadan, usai membaca negara Barat yang sedang puyeng oleh tingkat kesuburan reproduksi warga negaranya yang makin menurun.
Saya jadi berpikir liar: tampaknya negara memang benar-benar memerlukan keberadaan dan kehadiran rakyat. Negara ada karena ada rakyat. Sebaliknya, rakyat tetap ada walaupun tidak ada negara. Dalam kondisi dan konteks tertentu, kehadiran negara dan pemerintahan malah merepoti rakyat.
Amma ba’du. Bersyukurlah Indonesia yang tidak dipusingkan oleh target replacement fertility. Rakyat Indonesia masih cukup rajin hamil dan melahirkan anak. Ruang-ruang kosong yang ditinggalkan generasi tua yang sudah udhur dan meninggal dunia, bisa segera terisi.
Optimisme Itu Bernama Nekat
Terkait soal kawin dan beranak, rakyat Indonesia, arek-arek enom, para generasi muda bukan sekadar mengandalkan tekad. Mereka memiliki kadar optimisme sangat tinggi yang tidak dijumpai di negara Barat. Optimisme tingkat tinggi itu bernama nekat.
Bonek alias bondo nekat bukan hanya milik Arek-arek Suroboyo, pendukung fanatik Persebaya. Nekat menjadi milik hampir seluruh rakyat Indonesia, bersamayam sangat dalam di akar kesadaran setiap perilaku mereka. Apabila optimisme nekat diproyeksikan pada skala dan lingkup paling sehari-hari, urusan nikah atau kawin dan beranak cukup bermodalkan kata mugo-mogo atau semoga.
Hari ini dapat rejeki duaratus ribu: “Alhamdulillah cukup.” Besok rejeki agak seret, penghasilan mlorot jadi seratus ribu: “Alhamdulillaah masih cukup.” Mlorot lagi jadi limapuluh ribu: “Mudah-mudahan cukup!” Memasuki situasi agak darurat: “Yaaa…dicukup-cukupkan.” Hingga pada situasi tanpa rasionalitas keuangan untuk ukuran orang modern, arek-arek itu tetap bertahan dengan optmisme nekat: “Kita lihat saja nanti. Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak tidur)!”
Situasi daya tahan mental itu nyaris tidak dimiliki bangsa lain. Dalam situasi terjajah atau krisis atau tertindas bagaimanapun rakyat Indonesia tetap bertahan, drengas-drenges, tertawa merdeka—hingga pihak yang menindas mereka heran dan lelah dengan sendirinya.
Jadi, pemerintah Indonesia tak perlu kawatir terhadap masa depan peradaban dan kemajuan yang akan terlempar menjadi kepingan-kepingan—ancaman serius yang dikawatirkan negara Barat akibat tingkat kesuburan reproduksi warga negara yang menurun.
Hasil riset PBB tahun 2015 menunjukkan tingkat kesuburan global memang masih menyentuh angka 2,5 anak per perempuan. Namun jika dicermati di setiap kawasan, tingkat kesuburan negara-negara maju sudah dalam tahap krisis.
Masih merujuk pada riset PBB, rata-rata tingkat kesuburan di Uni Eropa (dengan anggota berjumlah 28 negara) pada tahun 2014 mencapai 1,5 anak per perempuan. Portugal (1,2) dan tertinggi di Prancis (2,1) berada pada tingkat paling rendah. Sementara itu di negara non Uni Eropa bekas Uni Soviet di tahun 2015, Rusia mencatat tingkat kesuburan 1,78 anak per perempuan, sedangkan yang lebih rendah lagi di Belarus yakni 1,70 anak per perempuan dan Ukraina sebesar 1,50 anak per perempuan.