Sering saya bercerita bagaimana saya sangat bersyukur memiliki banyak sahabat. Mereka sering mampir, dolan, atau sekedar lima menit sepuluh menit ngobrol lalu pamit pulang. Bahkan tak jarang betah duduk lesehan sampai tengah malam lewat.
Tidak ada tema tertentu atau isu besar yang kami bicarakan. Obrolan mengalir begitu saja. Meski demikian saya bisa memetakannya: mulai dari berkeluh kesah alias curhat, menemukan solusi bagi persoalan yang sedang menghadang, mengkritisi praktek pendidikan – dan tema ini rasanya paling sering menghiasi ruang lesehan rumah saya, sampai bagaimana membesarkan hati para sahabat bahwa kemuliaan manusia bergantung pada kesanggupannya mempertahankan martabat dan harga diri.
Ya. Martabat dan harga diri bagi seorang tukang sapu di sebuah sekolah swasta. Malam itu bertamu ke rumah saya empat orang pekerja kebersihan. Tiga orang lumayan mentereng jabatannya: cleaning service. Seorang lagi pengangkut sampah.
Empat orang yang cukup membuat ruang tamu rumah saya kewalahan menampung gelak tawa, kelakar, dan guyunon kami. Sambil lesehan ditemani teh dan kacang godhok kami mengawali jagongan malam itu dengan saling canda. Tak ada marah. Tak ada mangkel. Tak ada rasa saling tersinggung. Cair dan menyenangkan.
“Inilah enaknya masih menjadi manusia. Guyon dan saling ejek dalam batasan yang bisa saling diterima dan dipahami,” ungkap saya menanggapi keakraban malam itu.
“Hidup sekali dibuat mangkel-mangkelan nanti dapat apa?”
“Ya dapat mengkel.”
“Sudah jadi tukang sapu ditambahi mangkel, selalu ingin marah, wajah dilipat-lipat agar kelihatan wibawa, rugi pangkat kuadrat!”
Tertawa kami kembali pecah. Saya lihat wajah mereka ceria, sumringah, cerah.
“Dinikmati saja…!” saran Kang Bogang, pengangkut sampah, “Meskipun pekerjaan kita adalah tukang sapu, berada di susunan pegawai paling bawah, dan hampir selalu diperintah dan tidak pernah memerintah, di saat kita sudah sangat terinjak, minta tolong kepada siapa lagi jika tidak kepada Tuhan.”
“Nggeh Mbaaaah…” sahut yang lain. Kompak.