[caption caption="Ilustrasi: idolator.com"][/caption]Cak Siman, sahabat karib saya, punya pekerjaan baru. Ia mengumpulkan anak-anak kecil, seusia taman kanak-kanak dan sekolah dasar, di ruang tamunya yang tidak cukup lebar. Anak-anak itu menyambut suka cita. Tidak sedikit yang masih bertanya-tanya. Sore itu berkumpul sepuluh anak di rumah Cak Siman. Ruangan tidak bermeja kursi dipadati anak-anak yang duduk lesehan.
Saya tidak tahu persis tujuannya mengumpulkan anak-anak. “Kamu kurang pekerjaan apa?” Saya bertanya padanya. Heran. Ia tidak cukup berpendidikan untuk sekedar mengajar anak playgroup. Ngaji al Quran pun Cak Siman gruthal-grathul. Tidak lancar dan banyak salah.
Yang saya tahu, kabarnya ia pernah mengajar di sekolah dasar. Sebentar saja. Dipecat karena pikiran-pikirannya dianggap berbahaya bagi keberlangsungan sekolah. Kinerjanya kacau. Ia hanya seorang Siman. Sangat tidak layak dan wajib dipertanyakan apabila memiliki gagasan yang terlalu cemerlang. Ia pantas dicurigai. Diawasi gerak-geriknya. Diteropong segala aktivitasnya.
“Curigalah kepadaku karena aku pantas dicurigai.”
“Saya bertanya, Cak. Bukan curiga.”
“Jangankan bertanya, dijadikan bahan fitnahan pun silahkan.”
“Itu lho soal mengumpulkan anak-anak. Sampeyan ini kurang pekerjaan apa?”
Cak Siman tertawa.
“Ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Kegiatan bersama anak-anak itu tidak dibiayai siapapun. Tidak ada gajinya. Tidak ada donaturnya. Tidak ada penyandang dananya. Tidak ada proposal pencairan bantuan.”
“Lha kenapa anak-anak itu dikumpulkan?”
“Belajar.”