Beberapa waktu lalu, belasan siswa di India, berusia 16 hingga 18 tahun melancarkan aksi mogok makan. Aksi itu dilancarkan untuk menentang pelecehan seksual. Mereka berhenti mogok makan kalau pejabat di Distrik Rewari mengeluarkan bukti surat perintah tertulis untuk yang menjamin keamanan mereka saat berangkat sekolah.
Para siswa menolak makan tapi mengonsumsi air. Aksi mogok makan itu didukung oleh para orangtua. Mereka menuntut jaminan nyata dari polisi dan pejabat setempat.
Adalah Marwan Barghout, seorang pemimpin Palestina yang dihukum penjara seumur hidup oleh Israel, memimpin aksi mogok makan. Aksi yang diawali pada 17 April itu diikuti oleh 1.187 tahanan Palestina. Para tahanan menuntut pelayanan kesehatan yang lebih baik. Menurut Barghout aksi ini berupaya untuk menghentikan penganiayaan, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan Palestina.
Aksi mogok makan bukan cara yang baru untuk mendapatkan perhatian pihak yang menindas mereka. Sejak zaman Mahatma Gandhi aksi mogok makan menjadi salah satu cara setelah upaya diplomatis mengalami kebuntuan.
Aksi damai mogok makan menjadi jalan sunyi—tanpa kata-kata, tanpa teriakan, tanpa tangan mengepal, tanpa gas air mata. Aksi yang secara terang-terangan menyodorkan diri sebagai tumbal bagi jaminan kemanusiaan yang lebih baik. Kalimat yang menggetarkan terucap dari bibir Gandhi. "Kesempatan yang diberikan Tuhan telah datang kepada saya, untuk menawarkan hidup saya sebagai korban terakhir yang tertindas." Gandhi siap menjadi tumbal bagi masa depan kemanusiaan.
Walaupun aksi mogok makan memliki beragam cara untuk disebut tidak makan, gagasan melaparkan diri menjadi cukup efektif sebagai metode perjuangan. Sekejam-kejamnya pihak yang berkuasa dan menindas mereka adalah manusia yang memiliki rasa kemanusiaan dan hati nurani. Mogok makan menyiratkan sikap optimisme: masih ada manusia di muka bumi ini.
Namun, puasa Ramadhan bukan aksi mogok makan di hadapan Tuhan. Gagasan melaparkan diri menemukan irisan persinggungan bahwa di tengah nafsu yang tidak mengenal batas, manusia perlu menumbuhkan kesadaran batasan-batasan.
Aksi mogok makan dilancarkan kepada kekuatan penguasa yang adigang adigung adiguno: sikap penguasa yang melanggar atau bahkan merobohkan pagar kemanusiaan. Melaparkan diri ternyata tidak hanya berurusan dengan nafsu makan dan minum—dalam ranah, konteks, ruang lingkup yang lebih luas dan dalam, nafsu mengejawantah sebagai sikap mempertahankan kekuasaan politik, nafsu memaksakan kebenaran keluar dirinya, nafsu mengkafirkan pihak yang berseberangan, nafsu memakarkan sekelompok pengacau, nafsu menuhankan materialisme tanpa batas.
Maka, setiap manusia memerlukan metodologi puasa—sikap dan situasi yang menghadirkan kesadaran terhadap batas. Empan papan. Pas. Tengah-tengah. Bahkan kebenaran yang kita yakini perlu di-puasa-i sebagai bukan satu-satunya kebenaran yang harus diikuti oleh orang lain. Mengumbar kebenaran sebagai kebenaran secara telanjang akan menimbulkan sakit hati sosial yang merepotkan banyak orang.
Mempuasai kebenaran adalah meletakkan fakta dan nilai kebenaran sesuai maqamnya. Misalnya kita berjumpa dengan seorang kawan yang kakinya pincang. Fakta bahwa kaki kawan kita pincang adalah kebenaran, tidak usah diucapkan. “Pincang, kamu mau ngluyur kemana?” Tak perlu kita berdebat bahwa sapaan itu menunjukkan sikap jujur, menyatakan pincang sebagai pincang, demi mengamalkan hadist Nabi: berkatalah yang benar walaupun pahit rasanya.
Yang ramai terjadi sekarang adalah klaim kebenaran yang menyatakan “kaki pincang” tanpa menghitung bagaimana perasaan kawan kita. Lalu kawan kita membalas, “Ora usah melu-melu, Cuk!” Misuh dia. Berkata kasar dia. Dan kita sakit hati. Hubungan sosial bebrayan pun jadi chaos.