Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mewaspadai Evolusi Perpeloncoan di Sekolah

14 Juli 2016   10:30 Diperbarui: 14 Juli 2016   10:57 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evolusi Perpeloncoan, dari kejahatan fisik menjadi kejahatan mental | Sumber:http://citizen6.liputan6.com/

Dalam tayangan di CNN Good Morning di Trans TV, pagi ini (Kamis, 14/07/2016), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan kembali menegaskan praktek perpeloncoan sudah dilarang. Anis menyatakan perpeloncoan adalah tradisi kolonial. Ontgroening, sebutan bahasa Belanda yang berganti nama menjadi MAPRAM, MAPRAS, OSPEK, MOS memiliki mindset nyaris sama: bullying.

Bullying perpeloncoan berganti nama dan mengalami metamorfosis dari pengertian denotasi menjadi pengertian konotasi, dengan eufemisme yang menyertainya, tetap perlu dicermati dan diwaspadai. Istilah yang digunakan untuk menyebut kegiatan hari pertama masuk sekolah atau perguruan tinggi nyaris tidak mencerminkan esensi dan tujuan kegiatan itu sendiri.

Masa Prabakti Mahasiswa (MAPRAM), Masa Prabakti Siswa (MAPRAS), Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK), Masa Orientasi Siswa (MOS), dan kini Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) menunjukkan selama berpuluh-puluh tahun akal sehat kita ditelikung oleh praktek dehumanisasi. Publik dan orangtua seakan tidak berdaya, tahu-tahu korban berjatuhan. Mulai cacat fisik sampai meregang nyawa. Ironi yang membabat habis cita-cita pendidikan. Perpeloncoan, bullying yang direstui sekolah.

Sesaat perpeloncoan menjadi tema pemberitaan dan diskusi para pakar, lalu lenyap dihempas berbagai persoalan hidup yang tak kunjung habis – kejahatan yang berlangsung di lingkungan pendidikan itu terus mempercantik dirinya dengan eufemisme.

Perpeloncoan mengevolusi diri. Tahun 1970-an perpeloncoan hadir secara terang-terangan. Kegiatan yang menuntut daya tahan fisik menjadi menu utama. Merayap malam hari dengan hanya memakai celana dalam bagi mahasiswa, melintasi genangan air comberan, punggung ditetesi lilin yang menyala merupakan ajang balas dendam senior ke yunior.

Kini, perpeloncoan tidak hanya terjadi di perguruan tinggi. Siswa SMP dan SMA atau yang sederajat mengalami tindakan serupa. Bentuk kegiatannya agak “halus”, walaupun di beberapa sekolah masih mengemasnya dengan tindakan “kasar”.

Kita menyaksikan siswa SMP atau SMA menerima teror tak kalah memprihatinkan. Memakai topi dari bola plastik yang dibelah tengah, mengenakan asesoris tanpa makna, mengumpulkan buku tulis merk tertentu yang nyaris hilang di pasaran, menghitung jumlah butiran beras merupakan perlakuan tanpa akal sehat dan mencederai harkat kemanusiaan.

Perpeloncoan mengalami evolusi: dari perlakuan kasar menjadi perlakuan halus, dari penyiksaan fisik menjadi penyiksaan mental. Dari kejahatan kasat mata menjadi kejahatan tak kasat mata.

Akal sehat dan harkat kemanusiaan pun tetap terluka. Bagaimana tidak terluka? Disamping kegiatan yang mudlorotnya lebih banyak dari manfaatnya, “buldoser” perpeloncoan merobohkan pohon cita-cita masa depan pendidikan, dan itu berlangsung di lingkungan yang menjadi ladang untuk menyemai benih visi masa depan. Perpeloncoan, neraka dalam surga.

Bagaimana proses evolusi yang sarat eufemisme kekerasan itu dihentikan? Memangkas generasi. “(Jika) Hari ini dia dipelonco, tahun depan dia akan memelonco. Karena itu, pangkas satu generasi. Kembalikan bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang mencerminkan kemanusian yang adil dan beradab,” kata Mendikbud dalam diskusi mengenai Hari Pertama Sekolah di kantor Kemdikbud. (Kemdikbud.go.id)

Sikap tegas Anis Baswedan memangkas satu generasi agar “kanker” perpeloncoan tidak semakin ngambrak menunjukkan bahwa tradisi kolonial telah mengurat-darah dalam praktek pendidikan. Selain menempuh antisipasi secara struktural, publik dan orangtua sudah saatnya peduli dan membuka mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun