“Ditinggal cabai ngumpet sebentar kita sudah kelabakan,” kata sahabat saya. “Begitu kok ingin lulus jadi manusia. Padahal setiap hari, setiap menit, setiap detik kita membaca berita, isu, sumpah serapah, cacimaki yang tak kalah pedas dari cabai.”
Benar juga apa yang dikatakan sahabat saya. Pedas dan “pedas” sama-sama menuding rasa dan makna pedas. Rasa pedas cabai pada takaran tertentu justru menyehatkan. World’s Healthiest Foods Zat melaporkan capsaicin pada cabai yang memiliki peran utama memberi rasa pedas dan panas dapat menghentikan penyebaran sel-sel kanker prostat melalui berbagai mekanisme.
Berbeda dengan rasa “pedas” dan “panas” konotatif yang ditimbulkan oleh serangan berita atau sejumlah pernyataan yang menusuk kalbu kemanusiaan. Sel-sel berpikir otak akan mengalami dismanajemen. Virus “pedas” dan “panas” mengacaukan keseimbangan berpikir. Cabai “hoax” merangsang manusia berbuat mentolo dan menjadi si raja tega yang memangsa sesama.
Pragmatisme Cabai
Awal September 2016 lalu, menjelang Idul Adha, harga cabai di beberapa kota di Indonesia mulai merangkak naik. Di Medan Sumatera Utara misalnya, harga cabai merah besar sudah mencapai Rp 60.000/kg. Jauh dari harga rata-rata nasional cabai merah besar yang berkisar Rp 38.000/kg. Kondisi serupa juga terjadi di Purbalingga, Jawa Tengah harga cabai merah menembus Rp40.000/Kg, padahal harga normalnya hanya Rp 25.000/kg.
Menjelang hari besar yang lain harga cabai sering mengalami kenaikan. Penyebabnya tidak terlepas dari persoalan produksi, tata niaga, hingga budaya kuliner yang mengandalkan cabai segar sebagai salah satu bahan utama masakan.
Kenaikan harga cabai tidak selalu menjelang perayaan hari besar. Persoalan gangguan produksi cabai akibat musim hujan jadi alasan. Gampang menyalahkan musim adalah sikap pragmatis yang melemparkan “kekisruhan” manajemen pada siklus alam. Pragmatisme serupa kerap pula dijumpai ketika banjir atau tanah longsor menerjang permukinam. Intensitas curah hujan yang sangat tinggi atau derajat kemiringan tanah yang ekstrim merupakan fakta yang dikemukakan sebagai alasan terjadinya bencana.
Melemparkan penyebab bencana kepada alam merefleksikan paradigma berpikir bahwa manusia adalah subjek dan alam adalah objek. Manusia menguasai alam—menguasai dalam makna, pengertian, ruang lingkup yang bersifat eksploitatif. Bahasa gamblangnya, alam diperkosa, diperas, dihamili secara paksa. Apa akibatnya?
Harmoni dan keseimbangan siklus terganggu. Udan kelangan mongso, kata orang Jawa. Hujan kehilangan musim. Bukan musim penghujan tapi hujan turun setiap hari. Mestinya musim penghujan tapi hujan tidak turun. Petani bingung. Musim tanam kacau. Ilmu niteni mongso bergeser-geser. Petani atau nelayan kehilangan waskita yang dirangkai dari ketelatenan dan kejelian niteni. Waskita jalaran soko niteni mulai hilang di tengah peradaban modern yang dipanglimai oleh kecerdasan kapitalisme.
Memuliakan Cabe sebagai Cabe
Kita bukan kaum materialis yang cemas terutama pada kenaikan harga cabe. Kita mencemaskan semua ini karena drama kenaikan harga cabai atau kebutuhan pokok lain adalah dampak “kecil” dari runtuhnya pilar keseimbangan horisontal yang seharusnya terjalin antara manusia dengan alam.