Ketika saya mengetik tulisan ini, corong pengeras suara mushola dan masjid mengumandangkan takbir. Anak-anak kecil di desa saya menikmati getaran suasana malam takbiran yang belum sepenuhnya dipahami akal mereka. Getaran yang lain dari biasanya. Sorot mata bahagia memancar dari wajah anak-anak. Bahagia yang teramat misterius untuk dirumuskan.
Allahu Akbar. Allah Maha Besar, demikian terjemah yang kerap kta terima. Zaman masih kecil saya membayangkan volume besaran yang kuantitatif. Segede gunung, seluas lautan, sebesar matahari—besar yang sangat-sangat besar? Saya menertawakan semua besaran itu untuk membayangkan betapa Tuhan sangat Besar.
Mulai belajar bahasa Arab saya pelan-pelan memahami Akbar adalah isim tafdlil. Bentukan kata bahasa Arab untuk mengungkapkan arti lebih. Allahu Akbar artinya Allah selalu lebih Besar, lebih Agung, lebih Kuasa dari apapun saja. Besar dalam pengertian makna hekakat yang substantif-kualitatif. Lalu diterjemahkan oleh Bahasa Indonesia menjadi Allah Maha Besar.
Allah memiliki sifat Al-Mutakabbir, bentukan kata isim fail atau pelaku dari sifat tersebut. Bahasa Indonesia mengenal diksi “takabur” yang kerap diartikan sombong. Allah menyandang sifat Al-Mutakabbir. Artinya Allah adalah pelaku dari sifat yang selalu lebih Besar dari siapapun dan apapun di semesta ciptaan-Nya. Saya lebih suka menggunakan bahasa Jawa. Allah itu nggedheni siapa dan apa saja.
Sifat Akbar itu hanya Allah yang berhak menyandangnya. Manusia tidak pantas mengenakan jubah kebesaran itu untuk kepentingan egoisme dirinya. Merasa lebih baik, lebih pintar, lebih jenius, lebih mulia, lebih terhormat dari orang lain adalah bunuh diri eksistensi. Mengenakan jubah kebesaran Tuhan tak ubahnya menggali liang kubur sendiri.
Lantas, mengapa Tuhan mengenalkan sifat Al-Mutakabbir itu? 99 Sifat Tuhan yang dikenal dengan Asmaul Husna adalah sifat kepengasuhan Tuhan kepada makhluk dan hamba-Nya. Khasanah tasawuf menyodorkan ungkapan berakhlak seperti akhlak sifat Tuhan. Bagaimana aplikasinya kepada diri sendiri?
Default sifat Al Mutakabbir pasti milik Tuhan semata. Namun, kita bisa melakukan custom untuk manajerial menaklukkan diri sendiri. Terminologi menang-kalah tidak diarahkan kepada pihak luar atau orang lain. Menang-kalah hanya berlaku pada peperangan melawan diri sendiri.
Pada konteks perang melawan diri itu kita meng-custom sifat Al-Mutakabbir. Nggedheni setiap persoalan atau tantangan yang tengah kita hadapi. Seorang penulis pastilah memanage dirinya dengan cara meminjam sifat Al-Mutakabbir. Nggedheni rasa malas menulis, nggedheni malas membaca, nggedheni kekeringan ide menulis dan seterusnya.
Seorang penulis memiliki semesta yang luasnya berbatas cakrawala, mengembang sedemikian rupa setiap ditimpa kendala kreativitas. Nggedheni setiap kendala ini juga menyentuh detail substantif kemanusiaan: bersikap jujur, mengatasi plagiarisme, menjaga keseimbangan berpikir, meneliti denotasi-konotasi kata per kata, memastikan konteks dan nuansa tulisan.
Ketika hambatan itu datang, penulis merasa dirinya lebih besar dari semua tantangan itu. Pada konteks proses kreativitas menulis, dirinya meminjam sifat “Akbar”, selalu lebih besar, nggedheni setiap hambatan. Juga di saat ia tersandung persoalan konten tulisan yang harus dimintakan maaf kepada pembaca atau pihak terkait. “Aku” penulis—dengan huruf A kapital—menjadi gelembung besar dan menampung “aku” kecil penulis. Ia tak segan mengakui kesalahan atau keteledoran.
Nggedheni Kesombongan Diri