Bagaimana bersikap lebih bijaksana di tengah krisis dan ancaman foodborne diseases dengan mengedepankan keseimbangan dan objektivitas berpikir? Hoax yang kini kian marak itu tidak hanya mendominasi pemberitaan tentang politik dan pilkada. Hingga empat puluh tahun terakhir informasi yang dibangun melalui media tentang keamanan pangan juga belum sepenuhnya bersih dari “hoax” dan bebas dari informasi yang tidak seimbang.
Keamanan Pangan yang Terabaikan
Foodborne diseases—yang lazim dikenal dengankeracunan makananmengintai kita saban hari. Definis menurut WHO,foodborne diseases adalah penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, yang disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.
Merujuk pada laporan WHO (2004) angka kematian global akibat diare selama tahun 2002 sebesar 1,8 juta orang. Laporan ini menunjukkan masih tingginya angka kematian dan kesakitan yang diakibatkan oleh Penyakit Bawaan Makanan (PBM). Makanan yang aman belum sepenuhnya bisa diakses banyak orang.
Di Indonesia, kasus keracunan makanan sebagai salah satu manifestasi Penyakit Bawaan Makanan juga tergolong tinggi. Badan POM (2005) mencatat, selama tahun 2004 terdapat 152 KLB keracunan pangan; 7295 orang mengalami keracunan makanan; 45 orang diantaranya meninggal dunia.
Lebih mengenaskan lagi, WHO (1998) memperkirakan rasio antara kejadian keracunan yang dilaporkan dengan kejadian yang terjadi sesungguhnya di masyarakat adalah 1:10 untuk negara maju dan 1:25 untuk negara berkembang. Jika merujuk pada rasio tersebut, kemungkinan kejadian yang terjadi di Indonesia pada tahun 2004 adalah sekitar 180 ribu orang mengalami keracunan makanan dan seribu orang diantaranya meninggal dunia.
Akses untuk mendapatkan bahan pangan dan makanan yang aman sungguh urgen dan mendesak. Selain mempertimbangkan keamanan dan kehalalan makanan yang dikonsumsi—lingkup kualitas keamanan ini pun semakin meluas, mengingat sepiring spageti menyimpan jejak karbon sekitar 10,94 kg CO2-eq—setara dengan karbon dioksida yang bisa menyumbang efek rumah kaca hingga pemanasan global.
Journal of Cleaner Production mempublikasikan hasil penelitian, untuk memproduksi 44 gram daging sapi membutuhkan satu kilogram gas rumah kaca, yang dalam kebutuhan jumlah yang sama bisa digunakan untuk menghasilkan produksi 50 kilogram bawang.
Sisa makanan yang menjadi limbah juga menyumbang emisi gas rumah kaca. Data FAO menunjukkan, sepertiga makanan yang diproduksi manusia terbuang sia-sia—yang nilainya mencapai 940 miliar dolar AS.
Ringkasnya, makanan yang kita konsumsi beserta sisa limbah makanan yang terbuang, berkontribusi dalam memproduksi gas rumah kaca yang mempengaruhi pemanasan global.
Monosodium Glutamate (MSG) dan Asumsi yang Tidak Bijaksana