Pada 2015 lalu Pemkab Jombang menerima penghargaan tingkat nasional sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) untuk kategori madya. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko pada puncak peringatan Hari Anak Nasional (HAN).
Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang telah memperhatikan hak-hak anak. Kita semua tentu berharap penghargaan tersebut tidak sebatas formalitas birokrasi semata. Sebuah penghargaan—ibarat orang memotret pasti membutuhkan view, objek, titik fokus, yang otomatis mengabaikan sejumlah obyek atau bidang sasaran foto lainnya. Bidang yang diabakan itu memiliki ukuran dan takaran yang lebih luas dan mendalam, lebih detail, lebih rumit, lebih complicated daripada gambar yang tampak di screen foto. Penghargaan adalah sebuah gambar yang berhasil ditangkap kamera.
Artinya, penghargaan sebagai Kabupaten Layak Anak mohon tidak dipahami secara lugu, bahwa Jombang, atau kota lain yang menerima penghargaan serupa, benar-benar kota layak anak dalam pengertian yang ideal. Selain sebagai bentuk apresiasi kerendahan hati, penghargaan tersebut sesungguhnya merupakan 'cambuk' untuk menunjukkan komitmen dan kepedulian pemerintah kabupaten kepada hidup dan masa depan anak.
Pada sisi wilayah lain yang tidak tertangkap 'kamera penghargaan', kehidupan anak di belahan lingkungan yang lain, bisa jadi menuturkan cerita yang berlawanan dengan 'item utama' penghargaan itu. Apalagi kalau kita cermati secara detail, anak-anak itu toh belum mampu mengembangkan kesadaran ruang bahwa mereka hidup di sebuah kabupaten. Konsep tentang kabupaten adalah konsep yang abstrak di pikiran anak-anak. Yang mereka kenali adalah lingkungan keluarga, sekolah, tempat ngaji (TPQ), dan lingkungan desa mereka tinggal dan bermain. Jelas bukan, penggunaan diksi 'Kabupaten' pada KLH lebih membela 'kepentingan' siapa?
Maka, di unit lingkungan paling kecil itulah anak-anak menerima pengalaman yang menyenangkan ataukah menyakitkan, menggembirakan ataukah menyedihkan, menghargai atau melecehkan—tanpa harus memiliki pemahaman yang memadai kota tempat mereka tinggal bernama Jombang, Blitar, atau Surabaya. Selama mereka merasa aman dan nyaman dalam satuan lingkungan terkecil tersebut, itulah “surga” bagi anak-anak. Sebaliknya, selama lingkungan tersebut menghadrikan ancaman dan pelecehan, itulah “neraka” bagi mereka.
Faktanya, 'neraka' itu masih berlangsung pada berbagai bidang kasus. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti.
Menurut catatan KPAI, kasus tertinggi per bidang sepanjang 2011 hingga April 2015 adalah anak berhadapan dengan hukum, yakni sebanyak 6006 kasus. Kasus pengasuhan anak berada di posisi kedua sejumlah 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus. Di manakah satuan lingkungan terkecil kekerasan pada anak berlangsung? Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di sembilan provinsi menunjukkan, 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat.
Terkait dengan kasus hukum yang melibatkan anak, Indonesia memiliki payung hukum untuk melindungi hak anak, yaitu UU No 39/ 1999 tentang HAM, UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak serta Keppres No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Namun, permasalahan klasik seperti belum adanya kesiapan sarana dan prasarana bagi anak yang terlibat masalah hukum, menjadi kendala.
Apabila kita memakai terminologi akil baligh, pendekatan yang harus digunakan dalam penanganan pelanggaran hukum oleh anak adalah fakta bahwa anak belum mencapai masa akil, belum dewasa secara akal, sehingga belum mengerti benar tentang kesalahan yang diperbuat. Namun, kenyataan hukum yang dihadapi anak berbicara lain. Mereka masih sedikit mendapatkan bantuan hukum sejak awal proses hukum. Kasus-kasus anak masih sering ditangani oleh penyidik umum, di luar unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Penghukuman tidak manusiawi yang menjatuhkan martabat anak dan berakhir dalam kurungan penjara perlu dihindari. Ya, anak-anak mendambakan keadilan restoratif, keadilan yang berangkat dari fakta bahwa anak adalah manusia yang harus dijaga martabat dirinya, dipelihara rasa kemanusiaannya, dilangsungkan proses pendidikannya. Restorative justice system didefinisikan Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB, sebagai suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Penjara anak bukan ruang untuk pertobatan. 73 persen anak menjadi pelaku kekerasan karena pernah menjadi korban kekerasan atau melihat tindakan kekerasan pada anak lain lalu menirunya. Penjara anak cukup 'ideal' menyediakan lingkungan yang justru menjadi pemicu tindak kekerasan—dengan label yang menyakitkan: penjahat. Memenjarakan anak dalam sel penjara justru bertentangan dengan tujuan memenjara itu sendiri sebagai bagian dari upaya menyadarkan dan mendidik anak.