Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikah Sepenuh Tanggung Jawab, Bukan karena “Kecelakaan”

30 Agustus 2016   23:28 Diperbarui: 31 Agustus 2016   00:49 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://godiscover.co.id/index.php/2016/04/30/usia-yang-ideal-untuk-menikah/

Ya. Generasi milenial adalah generasi potensial masa depan yang memerlukan pendampingan pengawasan ekstra dari para orangtua. Bukan hanya mengawasi interaksi mereka dengan dunia digital. Bukan sekadar membuat peraturan yang terkesan mengekang. Tapi menanamkan kesadaran diri bahwa level berpacaran tingkat tinggi tak ubahnya mengubur masa depan mereka sendiri.

Ada apa dengan level pacaran tingkat tinggi? Pada April 2016 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis hasil survei Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tentang gaya dan perilaku pacaran para remaja pra nikah usia 15-24. Survei dilaksanakan pada rentang 2012-2014 itu dilakukan di Sulawesi Utara.

Hasil survei menyebutkan 90 persen remaja berpacaran pernah berpegangan tangan; 59 persen mengaku pernah berciuman bibir;

Versi lain hasil survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2012, sebanyak 79,6 persen remaja pria dan 71,6 persen remaja wanita pernah berpegangan tangan dengan pasangannya; 48,1 persen remaja laki-laki dan 29,3 persen remaja wanita pernah berciuman bibir; 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita pernah meraba atau merangsang pasangannya.

Hasil survei SKRRI itu memetakan “level pacaran” remaja kita. Level berpacaran dalam kategori berbahaya dan membahayakan dialami oleh 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita. Bukan tindakan yang mustahil, selangkah lagi mereka melakukan “hubungan” di luar nikah. Pada 2016 SKRRI BKKBN melaporkan 8,3 persen laki-laki dan 1 persen remaja wanita sudah melakukan seksual sebelum nikah. 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah pada 2013.

Sudah Baligh tapi Belum Aqil

Fakta di atas menunjukkan bahwa para remaja secara biologis sudah mengalami baligh namun secara mental pikiran belum aqil. Fungsi reproduksi biologis bekerja namun tidak atau belum diimbangi oleh kesanggupan berpikir jernih, adil, objektif. Para remaja itu pasti bukan anak-anak tapi belum dewasa.

Bagaimana dikatakan dewasa kalau produktivitas mereka cenderung nol dan lebih bergantung pada asupan orangtua. Mereka belum sepenuhnya mandiri, bahkan cenderung konsumtif dan destruktif. Mengalami kegamangan personalitas, status, dan posisi sosial. Pokoknya serba tanggung.

Antara kenyataan perkembangan biologis dan mental berpikir tidak nyambung. Terjadi split. Perkembangan biologis melaju demikian cepat sementara perkembangan sikap dan cara berpikir berlari di belakang. Mengapa terjadi ketimpangan seperti itu?

Kembali pada pola asuh dan pola pendidikan di rumah. Ketika remaja dekat dengan ibu pendidikan memasuki tahapan baligh relatif terpenuhi. Namun ketika remaja tidak dekat dengan sang ayah yang hampir selalu sibuk bekerja, pendidikan untuk memasuki tahapan aqil menjadi terbengkalai. Ada yang hilang ketika sosok ayah tidak hadir untuk menguatkan aspek ke-aqil-an remaja. Bisa dibayangkan pula bagaimana akibatnya apabila ayah dan ibu sama-sama sibuk di luar, dan anak berteman dengan gawai yang membawanya masuk ke dunia maya, dunia tanpa batas dan tepi?

Maka, meraih masa depan cemerlang selain membangun kesadaran nikah pada usia yang ideal, tahapan proses perkembangan remaja penting pula diperhatikan kedua orangtua. Nikah usia ideal adalah salah satu tahapan diantara sekian tahapan perkembangan sebelumnya. Sedangkan meraih masa depan cemerlang merupakan konsekwensi sewajarnya bagi remaja yang tugas perkembangan sebelumnya telah tuntas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun