Wakidin sudah leyeh-leyeh di balai depan rumahnya. Aku lunglai berjalan sambil menepis rasa malu terhadap pikiranku. Wakidin menyambutku dengan tersenyum. Tidak nyaman melihat senyumannya. Terbersit ungkapan dari senyum itu betapa mengenaskan diriku. Berhadapan dengan Wakidin kali ini seperti berdiri di depan sebuah gerbang yang agung. Batas kesadaran yang ditampilkannya sungguh melemparkanku di ujung waktu.
Entah karena suasana Ramadhan makin mendekat atau karena Wakidin adalah sosok misteri dengan satu kepastian, yakni ia adalah misteri itu sendiri – aku tidak akan mengusiknya. Misteri akan bermaqam dan beralamat di misteri. Aku tidak mau pusing oleh ketidaktahuan yang wilayahnya hampir tak bergaris tepi. Misteri pengalaman bersih-bersih selokan bersama Wakidin saja menyisakan rasa, meminjam ungkapan Markesot, manusia berlaku tidak sebagaimana dirinya.
“Perbudakan sedang berlangsung di dalam dirimu,” ungkap Wakidin. Aku kembali duduk di sampingnya. “Kamu belum merdeka dengan tanganmu, telingamu, kakimu, otak dan pikiranmu. Panca inderamu diperbudak oleh alam pikiran yang kamu ciptakan sendiri.
“Gerakan bersih-bersih selokan membuka gerbang pikiran saya, Kyai.”
“Bersikap biasa saja. Sewajarnya. Tidak perlu dibesar-besarkan. Untuk menjadi bersih tanganmu hanya terbiasa menyentuh dan memegang barang yang bersih. Padahal di sekitar kita tidak semua benda bersih. Ada yang kotor dan najis. Menyentuh yang kotor dan yang najis tidak otomatis menjadikan mentalmu kotor dan najis. Konsep thaharah dan tazkiyatun nafs disediakan Tuhan untuk membersihkan yang najis menjadi suci.”
“Tetapi, maaf, Kyai, manusia berlaku tidak sebagaimana dirinya,” Saya keluarkan jurus dari Markesot.
“Jangan mencomot ungkapan tanpa menyadari, menyelami, menghayati sehingga kamu lulus menjalaninya dalam tahapan laku hidupmu!”
Aku tersenyum kecut.
“Setiap manusia berdaulat menemukan kebenaran. Sayangnya, otak dan pikiran manusia dibatasi oleh gerak kasat mata panca inderanya. Di tengah keterbatasan yang menelikungnya manusia menjadi gampang mengeluh bahkan tidak segan memprotes Tuhan.”
***
Wakidin bercerita. Seorang pengemis buta bersama anaknya tersesat di jalan dusun yang sepi. Jalanan yang jarang dilewati oleh warga. Pengemis buta dan anaknya menadahkan tangan, mengemis di bawah pohon. Seharian tak seorang pun lewat di sana. Seorang kekasih Tuhan yang mengamati pengemis buta dan anaknya tidak tega dan dirinya merasa berkewajiban membela situasi itu.