Kesempatan temu kangen dengan seorang sahabat lama berujung pada curhat tentang salah satu putranya yang tidak bisa diterima di lingkungan sekolah. Pasalnya, sang anak terlanjur dicap aneh karena kecenderungan minat, obsesi, perilaku, dan pilihan-pilihan sikap berpikirnya tidak umum.
Ini anak sejak kelas satu sekolah dasar tergila-gila dengan aktivitas menggambar. Kapan dan dimanapun ia selalu menggambar dan menggambar. Kegilaan pada gambar-menggambar itu terbawa hingga ia kelas enam semester akhir. Pulang sekolah kepada ibu selalu ditunjukkan pelajaran menggambar. Buku tulis penuh dengan goresan gambar serupa komik. Pusing kawan saya. Ujian Akhir Nasional di depan mata. Kalaupun ia berhasil lulus dari sekolah dasar, SMP mana yang bersedia menerima “anak aneh”?
Spontan pikiran saya bergerak ke home education. Lingkungan dan gaya pembelajaran yang relatif longgar lebih cocok kiranya untuk mewadahi kegilaan anak menggambar. Mengapa bukan sekolah formal?
Kasus pendidikan seperti itu bukan hanya dialami sahabat saya. Kisah klasik tentang anak-anak aneh dan bahkan dianggap idiot kerap kita dengar. Thomas Alfa Edison adalah salah satunya. Thomas kecil sempat berpikir bahwa dirinya benar-benar bodoh. Penyamarataan yang diberlakukan sekolah kepada setiap siswa memenjarakan Thomas. Ia bosan dengan cara belajar yang standar model sekolah. Penyamarataan dalam standarisasi proses pembelajaran membunuh siswa. Thomas adalah korban “pembunuhan” itu.
Bertahan tiga bulan saja di sekolah, Nancy sang ibu mengeluarkan Thomas dari sekolah. Inilah saat pendidikan yang sebenarnya, pembelajaran yang memperhatikan sentuhan personal dimulai. Gurunya? Siapa lagi kalau bukan sang Ibu.
Sikap yang diambil oleh Nancy senada dengan David Gilmour, seorang mantan kritikus film dan novelis asal Kanada. “Ketika anakmu tidak mau sekolah, kau menipu dirimu sendiri kalau kau pikir bisa memaksa mereka. Paksaan hanya akan mengubah anakmu jadi pembohong,” ujar David.
David pun mengizinkan putrinya, Jesee Gilmour keluar dari sekolah dengan satu syarat: setiap minggu Jesse harus menonton tiga film yang dipilihkan David lalu mendiskusikannya bersama. Aktivitas nonton film yang menjadi ajang pembelajaran itu berlangsung selama tiga tahun.
Kita dapat menyebut lebih banyak lagi nama-nama tokoh dan kasus serupa. Namun satu hal yang menjadi perhatian sekaligus keprihatinan kita: sekolah masih belum bersungguh-sungguh atau belum berminat atau belum memiliki perhatian ekstra atau belum peduli sepenuhnya pada sentuhan personal kepada siswa.
Sekolah menjadi benar-benar identik dengan penyamarataan. Serba terstandar, serba distandarkan, serba menstandarkan mozaik warna menjadi satu warna saja. Fokus persoalan kita sesungguhnya bukan pada sekolah, melainkan pada upaya penyamarataan itu. Sekolah tidak punya salah apa-apa karena justru kesalahan fatal terletak pada penyamarataan proses belajar. Isi kegiatan belajar yang diwadahi oleh sekolah itulah yang seharusnya dibenahi kembali.
Tidak berlebihan kiranya kita mendambakan sekolah yang mengakomodasi pandangan bahwa setiap individu itu unik. Sebuah layanan belajar yang bersifat personal seutuhnya terhadap siswa. Cukup riskan memperbaiki kualitas pembelajaran dengan cara mengesampingkan personalisasi individu.
Bukankah sekolah telah menyediakan pilihan kegiatan ekstrakurikuler? Menyediakan tidak sama dengan melayani. Sekolah memang menyediakan pilihan-pilihan itu sesuai “kemampuan” yang ada. Sekolah menyodorkan pilihan, siswa memilih. Kalau melayani, sekolah akan memenuhi kebutuhan ekstrakurikuler sesuai minat atau bakat siswa. Kendala biaya dan anggaran menjadi alasan utama yang sering terlontar untuk menjawab ketidakmungkinan itu.