Guru spiritual itu harus sakti atau orang sakti pasti pantas menjadi guru spiritual, bagi seseorang yang tengah mabuk tidak penting lagi. Fokus dan titik beratnya adalah sakti itu sendiri. Adapun esensi, subtansi, makna, muatan-muatan rohani, rasa objektivitas dari “guru” dan “spiritual”, yang sejatinya memiliki indikator kasat mata, bukan menjadi pertimbangan primer.
Di mata anak-anak, yang belum jangkep fungsi akalnya, David Copperfield itu orang sakti. Bagaimana dibilang tidak sakti—pesawat ulang-alik dibuat hilang cukup dengan menurunkan tirai dalam sekejab lalu membukanya lagi. Pesawat segede itu lenyap tak berbekas.
Anak-anak dan orang dewasa sangat terpukau oleh pertunjukan itu. Bedanya, anak-anak memelihara “pemahaman” dalam waktu yang cukup lama bahwa David itu orang sakti. Selain karena akal yang belum jangkep sehingga menjelaskan trik magic yang rumit pada anak adalah pekerjaan sia-sia, maka kita mengampuni dan menyadari keterbatasan itu.
Bagaimana dengan orang dewasa? Sensasi hilangnya pesawat dinikmati sesaat, seperlunya, secukupnya, karena hidup tanpa sensasi seperti sambal tanpa garam. Sesudah pesawat hilang, akal langsung menyodorkan pertanyaan: Kok bisa ya? Bagaimana caranya? Apa trik magic yang diterapkan? Kemana pesawat itu pergi? Dan sejumlah pertanyaan rasional lainnya.
Sensasi itu terasa nikmat justru berkat rasionalitas kita bekerja. Kita menikmati peristiwa irasional yang kita sadari bahwa itu rasional. Itulah keseruan menonton sulap atau magic show. Bisa dibayangkan, andai para penonton itu tiba-tiba dicabut rasionalitas berpikir mereka, para magician itu akan diangkat sebagai guru spiritual.
Akal menjaga rasionalitas berpikir manusia. Ayam dan kambing memiliki otak, namun tidak berfungsi sebagai akal. Hanya otak manusia yang diberi kesanggupan bekerja sebagai akal. Tidak ada agama bagi yang tidak berakal, menunjukkan naluri beragama itu tumbuh dan bekerja dalam diri manusia berkat otak yang berfungsi sebagai akal.
Tiga kata: guru, spiritual, sakti dengan demikian harus dilacak makna objektivitas dan rasionalitasnya secara utuh menyeluruh. Sedikit saja terdapat celah atau ruang kosong objektivitas dan rasionalitas yang belum atau tidak tersentuh, seseorang akan terpeleset irasionalitas. Fakta yang hadir di depannya ditangkap secara nir-objektif.
Ungkapan Marwah Daud Ibrahim bahwa dirinya terlalu rasional menunjukkan garis linier cara berpikir yang sangat kuat. Di sanalah justru terdapat banyak "lubang rasionalitas" yang selama ini kosong. Bahwa malaikat, jin, lelembut, gendruwo, kuntilanak, transdimensi, transwaktu, dan berbagai hal tidak kasat mata, pada taraf dan kondisi tertentu sesungguhnya rasional.
Rasionalitas yang belum jangkep alias bolong itu menemukan momentum ruang dan waktu saat terjadi perjumpaan secara langsung dengan Taat Pribadi. Pesona seorang Taat seketika menutup bolong-bolong rasionalitas Marwah. Andai Marwah menutupi lobang rasionalitasnya dengan kesadaran, misalnya kesaktian yang sejati tidak pernah tampak apalagi ditampak-tampakkan di depan orang lain, akan berbeda urusannya.
Kesaktian sejati yang tidak pernah tampak itu juga mengandung rasionalitasnya sendiri. Adapun ketika seseorang memeragakan sebuah kesaktian di hadapan khalayak, hal itu tak lebih seperti kita menyaksikan air yang direbus lalu mendidih. Bagi khalayak sakti adalah kondisi mendidih itu.
Masih ingat Ponari? Bocah yang tiba-tiba melambung sebagai bocah sakti dan didatangi beribu-ribu orang untuk berobat, bukan bocah sakti. Bahkan sejumlah pakar geologi meneliti batu di genggamannya. Bukankah penelitian itu upaya rasionalisasi ilmiah sebuah batu?