Dua pejalan kaki yang tersesat di padang pasir tengah berdebat. Dari kejauhan satu orang melihat onta, sedangkan temannya melihat kerbau. Temannya segera meralat, tidak ada kerbau hidup di padang pasir. Yang paling masuk akal hewan di kejauhan itu adalah onta.
Tidak ada jalan untuk menyelesaikan perselisihan pendapat selain mereka harus mendekati objek itu. Mereka semakin dekat tapi belum bisa memastikan gerangan apakah sesuatu itu. Namun, benda yang menjadi sasaran pengamatan tiba-tiba terbang. “Burung!” teriak salah satu diantara mereka.
“Bukan!” sergah kawannya. “Itu tadi kerbau.”
“Itu pasti burung. Dia bisa terbang.”
“Pokoknya kerbau!”
“Kerbau bisa terbang?” tanya kawannya bingung.
“Pokoknya itu kerbau—kerbau yang bisa terbang!”
Menjalani hidup yang sangat singkat ini saya berdoa semoga Anda tidak pernah dipertemukan dengan “sosok” yang setiap argumentasi pendapatnya mengandalkan kalimat “pokoknya”. Saya pernah berjumpa dan terlibat cukup lama bergaul dengan “manusia-pokoknya”. Daripada saya ikut edan lebih baik sing waras ngalah. Saya undur diri.
Keyakinan yang Salah Sasaran
Muatan sikap “pokoknya” menunjukkan keangkuhan dan cara berpikir yang bebal ketika fakta tidak diterima secara apa adanya. Pokoknya saya ini pemimpin, penguasa, juragan, bos, yang punya uang atau segala atribut subjektif yang bisa membenarkan diri, dipasang untuk pembenaran.
Saat ini kita menemukan banyak sekali bukti bahwa keyakinan dan intuisi yang telah berurat berakar telah menjadi panglima. Keyakinan dan intuisu itu—entah atas nama politik, ekonomi, pendidikan mempengaruhi bagaimana seseorang menerjemahkan informasi yang dia terima. Fakta yang dikandung oleh sebuah informasi, dengan segala kemungkinan bias, hoax, akurasi dan validitas yang menyertainya, dicernai sesuai filter dan cara pandang yang ditunggangi oleh pamrih subjektif keyakinan.