Konyol, barangkali itulah yang dilakukan Louis Darget. Ia meletakkan plat di wajahnya lalu tidur. Plat berjarak 2,5 cm dari wajahnya itu akan memotret mimpi saat ia tertidur. Hal serupa dilakukannya pada Madame Darget, istrinya. Keesokan hari Darget menemui istrinya dan membawa hasil foto yang sudah dicetak. Ia menunjukkan gambar kabur berbentuk burung. Darget memberi nama foto itu, “Fotografi Mimpi. Sang Elang.”
Darget meyakini foto itu merupakan gambaran proyeksi otak manusia. Ia pun mengirim surat kepada Akademisi Sains Prancis pada tahun 1904 untuk mengklaim bahwa temuannya itu akan menyibak cara kerja otak.
Dekade tahun 1900 an fotografi menjadi jembatan untuk melihat hal yang belum pernah terlihat. Walaupun terkesan ngawur, Darget menawarkan konsep radiasi manusia dalam bentuk pemikiran. Darget menyebut konsep itu sebagai V-ray. V adalah vital.
Bagaimana V-ray bekerja? "Ketika jiwa manusia memproduksi sebuah pemikiran," tulis Darget pada 1911, "maka pemikiran itu akan mengirimkan getaran ke otak. Kandungan phosphorus di otak kemudian mulai beradiasi, dan sinar diproyeksikan keluar." Untuk bisa menangkap sinar tersebut, dibutuhkan "radiografer portable", yang memuat plat fotografi. Plat inilah yang ditempel di kening untuk memproduksi gambar blur dan abstrak. Hasilnya adalah mimpi sang istri yang diinterpretasi Darget sebagai Mimpi Elang.
Sejumlah ilmuwan menyatakan corak yang muncul pada eksperimen Darget adalah hasil pencitraan dari hangatnya kulit manusia. Gambar blur dan abstrak tidak muncul ketika dilakukan pada mayat.
Menulis, Derita dan Bahagia
Eksperiman Darget mendorong para ilmuwan menguak fotografi pikiran dan mimpi. Dengan menggunakan penggambaran resonansi magnetis atau functional magnetic resonance imaging(fMRI), otak diklaim bisa dipetakan. Tidak semudah itu memang. Namun, semangat eksperimen memahami otak tidak pernah berhenti.
Pada sisi yang lain, kita bisa melakukan V-ray dengan menuliskan apa yang terdapat dalam pikiran. Entah kebetulan atau tidak, Facebook selalu bertanya: “Apa yang Anda Pikirkan?”
Menulis tak ubahnya melakukan V-ray dengan aksi dan hasil yang berbeda. Bukan gambar blur dan abstrak yang dihasilkan, melainkan sejumlah deretan kalimat dan paragraf yang menyatu dalam bentuk karya tulis—apapun ragam dan bentuknya. Karya tulis itu membentuk “citra visual” dalam benak imajinasi dan pemahaman pembaca. Menulis, dengan demikian, tidak hanya memotret isi pikiran—menulis adalah berbagi getar-getar “citra visual” kepada pembaca.
Alangkah bahagia hidup seorang penulis. Ia memiliki peluang dan kesanggupan membebaskan isi pikiran yang sambung-menyambung dengan orang lain atau pembaca. Kebahagiaan yang akar-akarnya menghujam ke dalam tanah penderitaan. Bahagia dalam penderitaan, derita dalam kebahagiaan adalah dialektika hidup yang sejatinya bukan milik penulis saja, melainkan milik setiap manusia.
Apakah seorang penulis adalah orang yang menderita? Jawaban subjektif saya, ya—karena dengan derita itu penulis adalah orang yang berbahagia. Seorang penulis akan selalu diganggu oleh ketidaknyaman-ketidaknyamanan, baik terkait dengan realita internal hidup penulis sendiri maupun realita eksternal lingkungan. Begitu seorang penulis terjebak di zoman nyaman, elan stamina kepenulisan itu pelan namun pasti akan loyo, dan mati dengan sendirinya.