Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaku Diri dan Perjalanan Sunyi

7 Juni 2016   01:49 Diperbarui: 7 Juni 2016   02:07 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Jalan Sunyi | Sumber: https://www.comparativadebancos.com/

Kalau pertimbangan yang dipakai adalah enak atau tidak enak, sungguh melaksanakan puasa Ramadhan itu tidak enak. Sarapan yang biasanya di-“ritual”-kan antara jam 07.00 – 08.00 WIB, selama Ramadhan, digeser pukul 03.00 WIB. Bagi yang belum terbiasa “bangun malam”, membuka mata menjelang shubuh merupakan tantangan bahkan siksaan tersendiri.

Mata terkantuk-kantuk. Nafsu menginginkan satu hal saja: melanjutkan tidur. Dalam keterpaksaan itu nafsu disuguhi aktivitas yang berlawanan dengan keinginannya. Makan sahur. Bagi penikmat kulier sejati, pukul tiga dinihari bukanlah saat yang enak untuk menikmati makanan.

Persoalan belum selesai. Makan sahur biasanya selesai tigapuluh menit menjelang shalat shubuh. Atau setelah makan sahur ada jeda sekian puluh menit sebelum shubuh, dan perut lumayan kenyang, nafsu pun berbisik: ayo tidur lagi! Nah, terjadilah dilema: tidur lagi atau menunggu waktu shalat shubuh tiba. Apabila kita berkompromi dengan nafsu alias melanjutkan tidur, tidak jarang shalat shubuh dikerjakan karipan alias bangun kesiangan.

Memang, untuk urusan enak atau tidak enak, alur waktu dan deretan aktivitas selama bulan Ramadhan, jujur saja, terasa tidak enak. Bahkan saudara kita di belahan bumi yang lain merasakan ketidakenakan puasa selama enam belas jam lebih. Belum lagi, budaya dan mayoritas yang tidak semuanya muslim. Ketidakenakan itu menjadi tantangan tersendiri.

Namun, di tengah ke-tidak enak-an menjalani puasa bulan Ramadhan tersimpan kenikmatan. Tidak enak yang terasa nikmat. Tidak enak yang dirasakan nafsu selama puasa disebabkan oleh rutinitas menjalankan aktivitas yang nyaris sama dan berulang selama sebelas bulan di luar bulan Ramadhan. Waktu menjalankan rutinitas pun selalu sama dan terus berulang. Apabila kita menyelami suasana baru aktivitas selama Ramadhan akan muncul rasa nikmat dan damai. Kita keluar dari zona nyaman. 

Sering tidak disadari bahwa selama sebelas bulan itu kita masuk dalam comfort zone. Kita merasakan keamanan dan kenyamanan sarapan pagi, tidur dan bangun tidur, istirahat di sela-sela pekerjaan, waktu berkumpul dengan keluarga dalam ritme yang nyaris tidak berubah. Ibarat titik koordinat, aktivitas kita tidak bergeser ordinat ruang dan waktunya. Dan sungguh, hal itu terasa enak, aman, dan nyaman.

Namun, dikala Ramadhan tiba, semua hal yang mengenakkan itu harus digeser, dibatasi, dan dikendalikan. Kita dipaksa keluar dari wilayah comfort zone. Di siang yang sangat terik tenggorokan terasa kering dan haus. Namun, orang yang berpuasa tidak lantas memesan es campur, meminumnya, dan merasakan tenggorokannya menjadi segar. Haus tapi kita tidak memutuskan minum, atau bisa saja kita minum dengan sembunyi-sembunyi dan tidak dilihat orang, tapi kita tetap menahan diri tidak melakukannya – sebuah tantangan sekaligus peperangan yang terjadi di dalam diri.

Keluar dari zona nyaman dan aman pada dasarnya adalah kesanggupan mengendalikan sekaligus mengalahkan nafsu sendiri. Mengendalikan ajakan nafsu yang tidak pernah henti untuk mengajak kembali ke wilayah comfort zone. Mengalahkan nafsu agar ia takluk dengan gairah kita meraih visi misi hidup, yang mustahil tercapai apabila kita masih ngendon di situasi psikologis yang aman dan nyaman.

Puasa merupakan metodologi dan lelaku diri yang memaksa kita keluar dari comfort zone. Metodologi yang ditawarkan oleh laku puasa berbeda dengan metodologi yang ditawarkan oleh shalat, zakat, atau haji. Selain puasa, semua ibadah mahdloh itu gerak dan aktivitasnya bisa disaksikan oleh orang lain. Namun, tidak dengan orang berpuasa. Selama ia tidak mengumumkan dirinya sedang puasa, hanya tiga pihak yang tahu: dirinya sendiri, malaikat pencatat amal, dan Allah.

Apa makna semua itu? Seorang pemimpin, leader, atau apapun sebutannya, harus sanggup menempuh perjalanan sunyi. Tidak gampang bersikap populis. Memiliki visi misi perubahan yang jelas dan benderang bukan untuk dirinya saja melainkan untuk semua orang. Seorang pemimpin yang tidak lagi tergiur oleh dorongan untuk mencari aman dan mengamankan ambisi pribadinya. Karena ia telah berhasil menaklukkan dirinya, mengendalikan hawa nafsunya, menjadi pemenang sejati yang melompat dari zona aman menuju zona tantangan dan perubahan.

Sang pemimpin, sang leader itu adalah kita sendiri. Pemimpin bagi diri sendiri dan pemimpin bagi keluarga. Saya pikir, dua amanah kepemimpinan ini wajib dituntaskan dan dijalankan layaknya orang berpuasa, sebelum kita merambah ke dalam wilayah kepemimpinan yang lebih luas dan kompleks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun