Berjumpa dengan banyak orang, sahabat, teman, handai taulan, sanak kerabat, satu yang membuat saya terpukau: kesederhanaan. Dan yang paling sederhana di hari idul fitri diungkapkan dengan satu kata: maaf. Hanya empat huruf, namun melunturkan beragam noda kesalahan. Apalagi empat huruf itu diucapkan dengan tulus, tergetar dari dalam lubuk hati, berakar dan menghujam dalam tanah kerendah-hatian – akan tergelar drama kolosal yang dibanggakan oleh Tuhan di depan malaikat-Nya.
Ucapan maaf diekspresikan dengan senyum yang tak kalah sederhana. Saking sederhananya kadang mengalirkan air mata. Adakah yang lebih sederhana dari hati yang tulus mengucap maaf?
Momentum per momentun berlangsung dengan sederhana pula. Manusia saling bertemu, berjabat tangan, bibir mengucap maaf. Hanya itu. Tanpa pembukaan acara, tanpa sambutan-sambutan, tanpa basa-basi, tanpa ritual seremonial yang membosankan.
Detik-detik perjumpaan mengalir tanpa rekayasa. Kita seakan disergap dari satu adegan menuju adegan berikutnya – adegan tanpa script – sehingga kesigapan nurani terus diuji dalam jaringan frekuensi yang sama.
Kesederhanaan memang indah, menggetarkan tali-tali kesadaran jiwa. Sekat-sekat sosial lebur, setiap orang menikmati kesederhaan yang benar-benar sederhana. Kesederhanaan yang indah membukakan pintu bahagia. Bahkan pun saudara kita yang terbaring sakit, bergetar bibirnya, menetes air matanya, kala bahagia merasuki hatinya.
Sungguh pun bahagia itu sederhana, kata terindah dari sang pujangga hanya sanggup melukiskan warnanya. Rasa bahagia, yang teramat sederhana, mengendap di dasar batin setiap yang merasakannya.
Kesederhanaan menjadi berharga kala jiwa digempur dahaga atas segala yang nyata ternyata  fatamorgana. Kesederhanaan yang diam-diam dirindukan di tengah lakon hidup yang terpenjara warna-warna. Kesederhanaan yang setia menemani lubuk sukma namun dianak-yatimkan oleh hiruk pikuk mobilitas yang tidak kenal batas.
Kepada kesederhanaan pun seyogianya kita meminta maaf atas kealpaan, kekhilafan, bahkan kesombongan yang kita peragakan. Menyadari sepenuh hati bahwa sederhana tidak identik dengan kekurangan, tidak identik dengan kemiskinan, tidak identik dengan kesengsaraan.
Kesederhanaan menghadirkan kebersahajaan, apa adanya, bersifat alamiah, sebagai watak dasar hidup itu sendiri. Bukan bermaksud menyederhanakan kompleksitas lapisan-lapisan kesadaran. Bukan bermaksud meremehkan substansi-substansi hakiki realitas yang sedang terjadi. Namun tatkala hijab berupa tendensi, pamrih, motif – tersibak, di balik semua itu tampil wajah kesederhanaan yang gamblang.
Ketika tembok egoisme, gengsi harga diri, pamrih kepentingan roboh, lalu dari bibir kita meluncur kata maaf, adakah yang lebih sederhana dari situasi plong dan dada melapang? Ketika rasa yang sederhana itu menguasai kita, adakah yang lebih melegakan dibanding saat gemuruh kebencian merasuki diri?
Memelihara kebencian justru memperumit hidup kita sendiri. Kita dililit oleh tali-tali kesusahan yang berlapis-lapis. Gerak menjadi terbatas. Hati menjadi batu yang mengeras. Pikiran menjadi picik dan tak segan berbuat licik. Kerumitan semakin rumit karena kita melawan fitrah kesederhanaan yang sudah digariskan.