Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Khilafah dan Humanisme "Misuh"

9 Mei 2017   19:05 Diperbarui: 10 Mei 2017   09:01 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://ken2rism.blogspot.co.id/

Dengan tulisan ini saya tidak hendak melibatkan diri dalam pro-kontra pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya bukan faktor di tengah riuh rendah perbincangan anti Islam, intoleransi, atau tema sejenis. Saya sekadar melacak titik keseimbangan tidak terutama untuk menemukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebab, semakin mendesak pula untuk kita temukan sebenarnya apa yang salah dan apa yang benar.

Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah di bumi. Khalifah—wakil Tuhan: mengurus kehidupan, memanageri sumber daya alam, menata segala persoalan agar berada di titik keadilan.

Menjadi seorang khalifah tidak usah dibayangkan terlalu besar dan muluk. Petani yang mencangkul di sawah, mengolah tanah, menanaminya padi adalah pekerjaan seorang khalifah. Tukang becak yang ramah, nggenjot becaknya dengan hati-hati untuk mematiskan keselamatan penumpang hingga tiba di tempat tujuan adalah pekerjaan seorang khalifah.

Tidak peduli apa pekerjaan dan profesi kita, selama output yang dihasilkan adalah keadilan, kebaikan, kemaslahatan bersama—itulah pekerjaan khalifah. Tugas-tugas mengola kehidupan itu disebuh khilafah, pelakunya dinamakan khalifah—keduanya berangkat dari akar kata yang sama.

Khilafah yang Dipadatkan

Terminilogi khilafah dan khalifah yang tidak dicabut dari denotasi akar kata dan belum dimuati oleh konotasi kepentingan ideologi perlu dicermati benar. Subtansi khilafah adalah perwujudan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, lengkap dengan pengejawantahan yang pasti harus dimuati oleh kedua sifat itu.

Pemadatan dan formalisme Islam menjadi, misalnya ruang sempit ideologi yang hitam putih, negara Islam melawan negara tahgut, tidak hanya ditemui pada polemik khilafah sebagai proses perjuangan ideologi. Praktek ibadah mahdloh pun kerap diperlakukan sebagai padatan dan formalisme. Seruan: “Awali harimu dengan shalat Dluha!”—juga menyimpan padatan-padatan yang—maaf—membodohkan.

Substansi menjadi kabur. Anak sholih adalah anak yang hafal Al-Quran—dengan tekanan dan nuansa informasi yang segaja digiring agar tiba pada kesimpulan: anak yang tidak hafal Al-Quran bukan anak shalih.

Entah, kita ini sedang merasa menjadi makhluk apa. Fakta bahwa manusia adalah makhluk sejuta kemungkinan sedang ditindih oleh paradoksal-hegemoni manusia adalah makhluk kepastian.

Apa sebab? Praktek menjalani agama, politik, ekonomi, pendidikan menempatkan humanisme dan Tuhan sebagai faktor pada urutan kesekian. Faktor primernya adalah mencapai kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Kepentingan itu pun cukup digambarkan secara “bersahaja”, lugas dan jelas: kaya dan berkuasa.

Humanisme Misuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun