Sejak belajar di sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, matematika adalah pelajaran yang kalau bisa tidak usah saya pelajari. Otak saya mbundel nyungseti saat menerjemahkan logika matematika ke dalam langkah berhitung. Dahulu, salah satu bentuk soal pelajaran matematika bernama soal cerita—dan mampuslah saya berhadapan dengannya.
Nilai rapor pelajaran matematika saya istikomah pada kisaran 60 – 70. Itupun saya bersangka baik: nilai itu berkat kemurahan hati guru matematika.
Saya tidak membenci pelajaran matematika. Saya hanya merasa kurang berminat untuk menekuninya. Minat itu berubah drastis saat saya duduk di bangku SMA—saya menjadi tergila-gila belajar matematika. Saya tidak tahu persis mengapa saya mendadak gila matematika.
Pelajaran matematika di SMA dibagi tiga: aljabar, aritmatika dan geometri. Aljabar dan aritmatika sangat saya suka. Bahkan ketika mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) saya nekad memilih jurusan Pendidikan Matematika. Hasiilnya adalah saya malah kesasar masuk jurusan MIPA Biologi Udayana Bali. Dan saya sukses tidak menyelesaikan kuliah di sana.
Mengapa Harus “Menuhankan” Matematika?
Riwayat pendidikan saya tergolong kacau. Mentah di hampir semua bidang yang pernah saya pelajari. Walaupun demikian saya berterima kasih kepada para guru yang membekali saya logika dasar matematika dan sains. Logika yang pasti dibutuhkan oleh para siswa untuk menjawab persoalan hidup sehari-hari hingga menjawab tantangan ilmu pengetahuan di masa depan.
Matematika dan sains merupakan kepingan-kepingan kecil, adalah salah satu dari sekian banyak kepingan lainnya, seperti ilmu sosial, ekonom, politik, budaya, etika—yang semua itu berintegrasi ke dalam metabolisme hidup manusia.
Manusia tidak hanya membutuhkan matematika dan tidak setiap siswa harus menjadi ilmuwan matematika. Hidup yang teramat luas, kompleks, memiliki ragam dimensi dan lapisan tidak cukup dijalani hanya mengandalkan matematika, baik sebagai sistem logika berpikir apalagi sekadar mata pelajaran. Namun, “kepingan” matematika ini—ibarat tangan yang berintegrasi dengan seluruh sistem dan mekanisme anggota badan—tetap memiliki tempat, fungsi dan peran yang cukup vital dalam kehidupan.
Silakan Anda mengganti pelajaran “matematika” dengan pelajaran yang lain untuk mensimulasikan “kepingan-kepingan” sebagai bagian integral dalam kesatuan metabolisme hidup manusia.
Kekacauan terjadi ketika kepingan mata pelajaran di sekolah, misalnya pelajaran Kimia dipersepsi, diperlakukan, diorientasikan, diprimerkan sebagai mata pelajaran maha penting seraya menindas mata pelajaran lain. Pelajaran Kimia, Matematika, atau Bahasa Inggris itu penting tapi tidak harus menganggap pelajaran Agama, Ekonomi, Geografi tidak penting.
Semua mata pelajaran itu penting dan bermakna—karena hidup bukan sekadar urusan matematika atau bahasa inggris atau ekonomi atau kimia belaka. Namun, cara berpikir kita kerap kali bolong-bolong—setiap kepingan menjadi sangat primer dan wajib ‘ain, padahal ia adalah satu bagian saja dari kesatuan yang utuh dan padu.