Apa tidak terbalik, Indonesia memangku Bajulmati? Monggo kerso kita melihat Bajulmati dan Indonesia dari “arah” sebelah mana. Namun, pada tulisan ini saya melihat Bajulmati dan Indonesia dari “bawah”. Saya sadari diri dan paham posisi—rakyat kecil yang berada di bawah, saya atau Anda kerap melihat peta persoalan dari bawah. Posisi pandang seperti ini saya pikir lebih otentik dan berpijak pada tanah realitas.
Dusun Bajulmati adalah wilayah kecil di pesisir selatan kabupaten Malang. Seperti dusun terpencil lainnya di pojok bumi Nusantara, Bajulmati dianugerahi potensi alam yang sering saya ibaratkan bagai cipratan air surga. Saat Tuhan menciptakan surga, benih potensi itu nyiprat di bumi Nusantara dan dusun Bajulmati ketiban cipratan itu. Hampir semua potensi surga ada di sana: tanah yang subur, pantai yang indah, pasir putih yang lembut, deburan ombak yang perkasa, muara yang jernih, warga dusun yang ramah.
Di tengah alam surga itu, dusun Bajulmati hingga kini terus berjuang memberdayakan diri. Ketimpangan pembangunan yang digelorakan Indonesia belum beranjak dari Bajulmati, kecuali pembangunan jalur lintas selatan yang menghubungkan Sendangbiru dengan pantai Balaikambang. Dampak sosial ekonomi itu harus dikaji secara mendalam—apakah Bajulmati akan menjadi desa-kota atau kota-desa? Beberapa tahun ke depan modernisasi akan menyerbu dusun Bajulmati.
Seperti “nasib” dusun dan desa yang dikurung oleh modernisasi, persoalan paling mendasar adalah runtuhnya bangunan merdesa—martabat hidup, harga diri, pola hidup bersahaja, kenikmatan berbagi dan melayani, guyub, rukun, dan sejumlah tata kesadaran hidup yang holistik.
Hari ini kita masih menemukan situasi surga yang merdesa itu di dusun Bajulmati. Tapi, entah, lima atau sepuluh tahun lagi, seiring dengan kapitalisme pariwisata yang terus menyerbu dusun Bajulmati, bangunan peradaban merdesa itu akan tinggal kenangan. Keramahan warga dusun dan guyub rukun itu akan jadi dongeng. Modernisme yang ditulangpunggungi kapitalisme akan menjadikan Bajulmati sebagai desa-kota. Kehidupan dengan gaya khas kota di lingkungan desa. Dianggap desa kok bergaya hidup kota. Martabat merdesa digantikan oleh martabat hedonisme. Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Pendidikan Memanusiakan Manusia
Pendidikan yang menjadi akar dan pondasi peradaban dusun tidak menancap secara kokoh. Karena itu, di depan para pengabdi pendidikan di dusun Bajulmati, bersama Shohibul Izar dan Mahbub Junaidi, saya tidak henti wanti-wanti, akar pendidikan komunitas yang sudah tumbuh jangan sampai mati atau keropos. Pendidikan khas model Bajulmati hendaknya tidak dihambat oleh formalisme dan pragmatisme ala tradisi sekolah modern. Bajulmati memiliki akar sejarah pendidikan sendiri yang tidak boleh rusak apalagi dirusak oleh tradisi materialisme sekolah.
Peradaban merdesa dipertahankan dengan cara menyemai dan menjaga tanduran pendidikan khas di setiap dusun. Bajulmati dan dusun lainnya bisa saling belajar tapi tidak saling mengungguli layaknya perlombaan sekolah berprestasi. Pendidikan tidak bisa dilombakan atau dicari pemenang juara satu karena pendidikan bukan sekadar wadah formal bernama sekolah. Apalagi keberadaan Pendidikan Anak Usia Dini dan TK Harapan Bajulmati memiliki sejarah panjang tidak sebagaimana PAUD atau sekolah pada umumnya.
Bagaimana mereka tidak memangku Indonesia? Pendidikan model dusun itu hingga kini selalu memanusiakan manusia—bahkan, maaf, jauh sebelum genderang sekolah manusia ditabuh. Naluri merdesa yang holistik itu menjadi kesadaran paling mendasar, srawung bersama sesama manusia. Pendidikan yang dijalankan pun tidak luput dari naluri itu. Panggilan untuk melayani pendidikan adalah panggilan kemanusiaan. Kesadaran universal ini apakah akan terus kita nyatakan sebagai kearifan lokal?
Tradisionalisme Musuh Modernisme?
Para pengabdi pendidikan di Bajulmati menanam bibit pendidikan—bukan membangun sekolah. Mereka bukan orang kaya raya yang mendirikan Yayasan Pendidikan lalu membangun gedung sekolah formal. Sedangkan bantuan dari pemerintah, sahabat-sahabat saya itu sudah sangat bersabar dan melupakan harapan itu. Mereka memangku Indonesia dengan lapang hati, bersedekah kepada Indonesia melalui upaya pemberdayaan pendidikan. Berpuluh-puluh tahun Indonesia tidak peduli—para pengabdi itu terus saja berbuat baik dan merangkul Indonesia.