Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Aku Adalah Egoisme dan Ingin Adalah Belenggu

27 Oktober 2016   20:16 Diperbarui: 27 Oktober 2016   20:34 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://gideonyusdianto.com/

Jumlah dan ragam definisi tentang kebahagiaan mungkin akan sama dengan jumlah dan ragam manusia yang bertebaran di bumi. Pasalnya, setiap individu memiliki rumus dan pengalaman yang berbeda-beda. Bukan terutama rumus atau definisi dari para akademisi psikologi, motivator kebahagiaan atau pedagang kalimat-kalimat positif. 

Rumus bahagia yang cenderung dipahami sebagai garis linier justru menghadirkan dikotomi-dikotomi. Kita terombang-ambing dari satu dikotomi bahagia menuju dikotomi sedih. Sayangnya, dikotomi rumus akademisi, tips dari motivator, rangkaian kalimat afirmasi positif tak ubahnya seperti suplemen.

Hidup tidak selalu membutuhkan suplemen—termasuk suplemen untuk meraih kebahagiaan. Apa sebab? Kebahagiaan dan kesedihan—ibarat benih pepohonan, telah tertanam secara laten dalam ladang jiwa setiap manusia. Dua benih itu akan ditempa dalam iklim kehidupan nyata. Ketika benih-benih itu tumbuh sebagai rasa bahagia dan sedih, ini tak ubahnya seperti pergantian malam dan siang. Malam tidak selamanya malam. Pagi tidak selamanya abadi pagi.

Itu semua bergantung pada bagaimana kita memandang dan menyikapi ruang dan waktu kehidupan. Perasaan positif dan hidup yang memiliki makna sebagai “unsur” kebahagiaan yang didefinisikan Daniel Gilbert, Psikolog Harvard, merupakan akibat dari proses tumbuh kembang bibit kegembiraan yang me-ruang dan me-waktu dalam iklim kehidupan—baik iklim internal individual maupun iklim eksternal environmental.

Tulisan ini bukan dalam rangka mengecilkan peran akademisi psikologi atau motivator kebahagiaan. Juga tidak dalam rangka menawarkan formula. Ketika zaman melaju dengan percepatan yang berhasil diraihnya, jiwa manusia justru tertinggal jauh di belakang. Untuk sekadar bisa berbahagia kita memerlukan bantuan orang lain, mulai dari merumuskan apa itu bahagia, bagaimana cara berbahagia, mengapa kita tidak bahagia, dan seterusnya. Upaya itu jadi kontraproduktif: kita menyerap, bukan malah memberi. 

Padahal jawaban atas semua pertanyaan itu sejatinya sudah tersedia dalam ladang jiwa kita masing-masing. Mengapa jawaban itu terasa tidak tersentuh oleh kesadaran kita? Mengapa rumus kebahagiaan itu menjadi abstrak dan untuk merasakannya kita perlu melewati berlapis-lapis penghalang yang memerlukan berlipat-lipat tenaga pikiran untuk menembusnya? Atau persoalannya cukup sederhana: sejak kecil kita tidak dibiasakan untuk mengenali, merasakan, merespon, merumuskan kebahagian yang paling sederhana? Kita merasa asing dengan DNA kebahagiaan kita sendiri?

Mungkin kita memperlakukan kebahagiaan sebagai objek yang untuk mempelajarinya diperlukan bekal teori dan parameter-parameter. Pada taraf kebutuhan tertentu hal ini tidak sepenuhnya keliru. Namun, teori dan parameter yang tidak ditempatkan pada “maqam” atau kedudukannya akan menjadi “penguasa” yang mendikte dan menuntun langkah kebahagiaan menuju arah yang bukan khas DNA kita.

Kita menjadi orang yang tidak terampil menyalakan cahaya dalam diri sendiri. Untuk sekadar menemukan arti tersenyum kita mengundang pakar motivasi. Kebijaksanaan dalam berperilaku menjadi mudah bergantung pada apa kata orang lain yang kita anggap ahli. Quote yang bertebaran setiap hari di media sosial dalam konteks ini mencerminkan, di tengah upaya berbagi cahaya itu, kita sedang mengabarkan rasa tidak percaya diri. Seakan kita tengah mengatakan, “Ini lho quote bagus dan bijaksana dari motivator Anu bin Anu!”

Parameter kebahagiaan, kesuksesan, kebijaksanaan, kejernihan menjadi milik para pakar, orang yang dianggap bersih, sukses, gemar berbagi—dan sifat positif itu bukanlah diri kita. Apalagi sejak maraknya grup-grup di Whatsapp kita menemukan begitu banyak tulisan tanpa rupa identitas. Tulisan tentang hal-hal baik yang tidak jelas siapa penulisnya. Lalu tiba-tiba saja sudah menjadi viral.

Kita semakin dikuasai oleh teori-teori dan parameter-parameter tentang keikhlasan, kepedulian, kesanggupan berbagi, kesalehan, keimanan, sembari luput menemukan teori dan parameter yang otentik dari dalam diri sendiri. Rasanya kita banyak didikte oleh nalar pihak luar. Sedangkan mengolah kebahagiaan dan menyikapi kesedihan adalah aktivitas internal yang sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola abang-ijone gerak perasaan.

Teori dan parameter itu pun belum tentu cocok sebagai formula kebahagiaan yang kita butuhkan. Sebut saja satu parameter yang kini dianggap paling bisa membahagiakan—memiliki banyak uang. Walau tidak sekali ini Gallup memberikan hasil “negatif”, survei pada 2012 di Singapura menyimpulkan uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Mengutip dari Kompas.com, survei menunjukkan hanya 46% warga Singapura yang menjawab merasa gembira dengan hidupnya. Persentase itu bahkan lebih rendah dari warga Irak dan Afganistan yang negaranya diporak-porandakan oleh perang. Sebanyak 50 dan 55% warga Irak dan Afganistan menyatakan hidup mereka bahagia.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun