Kita sering mendengar ilustrasi peristiwa: meneruskan berangkat shalat jumat ataukah menolong orang disrempet truk di jalan, untuk menggambarkan dua pilihan yang sama-sama sulit. Iqamah sudah terdengar, sementara ada orang tergeletak di depan kita.
Kita bisa mensimulasi peristiwa itu untuk menggambarkan bermacam kemungkinan sikap dan tindakan. Lengkap dengan perdebatan, perseteruan, pergunjingan—atau bahkan menggunakan palu vonis kebenaran. Kalau menilik cara berpikir linier yang gampang dibelah oleh dikotomisasi dan mengandalkan satu sudut pandang, kita akan menemukan dua kubu: kubu penolong orang yang ditimpa kecelakaan dan kubu pelaku shalat jumat.
Sejurus kemudian, adegan yang terjadi mudah ditebak: kedua kubu akan saling menyerang, menegakkan argumentasi kebenaran masing-masing, menyalahkan kubu lawan dan membenarkan kubu sendiri, menyatakan kubu pelaku shalat jumat sebagai pihak yang tidak pro kemanusiaan. Sebaliknya, kubu pro jumatan melakukan serangan balik: mereka yang tidak jumatan adalah golongan munafik.
Kedua kubu benar, merasa dirinya benar, sama-sama berteriak untuk membela kebenaran—kebenaran melawan kebenaran.
Mempertengkarkan “Bahan Dasar” Kebenaran
Ilustrasi peristiwa yang saya gunakan untuk mensimulasi dua kebenaran yang saling beradu itu sebenarnya agak usang. Namun, akar persoalan yang memicu pertengkaran tetap aktual hingga sekarang.
Beberapa waktu lalu media tersentak oleh aksi fotografer asal Suriah, Abd Alkader Habak, yang menggendong seorang anak ke tempat aman setelah sebuah konvoi bis yang membawa pengungsi dari kampung-kampung di Suriah dibom. Di tengah puing kehancuran, setelah sebuah bom menghasilkan kekacauan, seorang anak terlempar dari ledakan. Ia telungkup tidak bergerak. Anak itu dianggap tewas.
Habak melihat tangan anak itu sedikit bergerak. Seketika itu pula, Habak menyingkirkan kameranya, berlari sambil menggendong anak itu menuju ambulan untuk menyelamatkannya. Tak lama kemudian, Habak kembali ke lokasi ledakan untuk memberi bantuan anak perempuan yang sedang menangis meminta bantuan.
Peristiwa penyelamatan yang dilakukan Habak jangan dipahami sebagai kebenaran obyektif, misalnya dengan mengajukan pertanyaan: “Bagaimana seorang wartawan akan menghasilkan berita kalau ia harus terlibat aksi kemanusiaan di setiap liputan?” Pertanyaan ini akan menyeret kita masuk ke dalam salah satu kubu, situasi pro dan kontra, seperti menolong simulasi orang disempret truk dan keharusan mengerjakan shalat jum’at.
Yang sedang terjadi sekarang adalah setiap orang, setiap kelompok, setiap golongan mengumumkan “bahan dasar” kebenaran sebagai secara apa adanya. Atau, kalau kita menggunakan anatomi sebuah pohon, “bahan dasar” kebenaran ini ibarat akar yang tertanam dalam tanah.
Mempertandingkan akar sebuah pohon justru membuatnya tercerabut dari tanah. Pohon mengering lalu mati dan tidak berbuah lagi.