Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Sekolah adalah Organisme

26 Juli 2016   00:32 Diperbarui: 26 Juli 2016   00:43 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karena Sekolah Adalah Organisme | Sumber foto: http://www.igi.or.id/content/data/upimages/Ilustrasi_siswa_SD.jpg

Semendal. Entah di-bahasa Indonesia-kan apa. Setiap berpamitan dengan kawan-kawan pengabdi di dusun Bajulmati Kec. Gedangan Kab. Malang, hati saya selalu semendal. Tenggorokan terasa kaku dan tercekat. Mata basah. Bisa dipastikan beberapa detik kemudian tumpah ini air mata.

Saya merasa lemah ketika dihadapkan pada perpisahan. Padahal dua minggu atau satu bulan atau paling lama tiga bulan lagi saya akan kembali ke dusun Bajulmati. Saya kuat-kuatkan saja sore itu untuk tidak terlihat cengeng. Bergaya sok tegar sambil berpesan ini itu kepada kawan-kawan Bajulmati, sebenarnya untuk mengusir rasa semendal di hati.

Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan atau mendramatisir ketulusan kawan-kawan pengabdi di Bajulmati. Apa yang akan dilebih-lebihkan dan didramatisir, sedangkan oleh ketulusan itu saya justru menerima suntikan energi. Saya harus berterima kasih sebanyak dan sesering mungkin. Walaupun untuk itu saya selalu kalahlangkah oleh ucapan terima kasih mereka yang lebih bertubi-tubi, dan tentunya, lebih tulus.

Berdiskusi bersama kawan-kawan pengabdi selalu melemparkan saya ke garis cakrawala. Malam itu hingga dini hari saya menyerap formula yang rumusannya mengingatkan saya pada ungkapan: “Semua organisasi, apapun bentuknya pada hakikatnya belajar, apakah disadari atau tidak—sebab belajar merupakan persyaratan fundamental supaya ia tetap bertahan” (Kim, D.H., Sloan Management Review, 1993).

Sikap terus dan selalu belajar bukan sekali saja saya tangkap dari Shohibul Izar dan Mahbub Junaidi, penggerak utama pendidikan di dusun Bajulmati. Dengan rendah hati keduanya menekankan bahwa kami semua di Bajulmati masih terus dan akan selalu belajar, kapan saja dan kepada siapa saja. Juga kepada tiga sahabat saya dari SMK Global Mentoro Sumobito Jombang, kesediaan untuk belajar kembali dikemukakan oleh Shohibul Izar.

Dialektikanya menjadi menarik dan sarat makna. Beberapa “guru kota” yang akan belajar bagaimana membangun komunitas belajar di dusun Bajulmati ditanggapi dengan rendah hati bahwa kawan-kawan pengabdi sebenarnya sedang belajar dan menimba ilmu dari “guru-guru kota”. Saya jadi berpikir, momentum saling belajar yang tumbuh secara alami akan berbuah tumbuhnya sinergi.

Tidak mudah menciptakan momentum kebutuhan saling belajar diantara mereka yang berkumpul dalam sebuah organisasi atau sekolah. Budaya guru senior – guru yunior, guru tua – guru muda, pola kerja yang sudah kadung terbentuk antara atasan dan bawahan, garis instruksional antara yayasan dan unit atau lembaga, menjadi bundelan-bundelan yang tidak mudah diurai.

Pertanyaan yang sering hinggap di kepala saya, diantaranya adalah apakah sekolah sebagai organisasi cukup “bergerak sendiri” atau “digerakkan”? Kalau sekolah cukup dan dapat bergerak sendiri mengapa hal itu bisa terjadi? Kalau sekolah harus digerakkan, apa atau siapa penggeraknya?

Apa memang ada sekolah yang “tidak bergerak”? Bergantung apa pengertian bergerak dan tidak bergerak? Warga sekolah dan pengurus yayasan terlena oleh manis sesaat, seperti berhasil menggaet jumlah siswa baru melebihi target; sekolah sudah mulai mengeruk keuntungan finansial; guru-guru yang sendhikodawuh karena takut dimarahi yayasan sehingga rela menindas nuraninya sendiri karena telah menanggalkan harkat kemanusiaan, dan semua itu dinilai sebagai keberhasilan membangun pendidikan—sebagai sebuah organisasi sekolah tersebut sedang mendaftar pada malaikat maut. Visi sekolah bersama atributnya tidak lebih sekadar lip service. Itu sekolah tidak bergerak. Alias mati. 

Bergerak atau tidak bergeraknya sekolah tidak terutama dilihat dari munculnya bangunan baru. Setiap gerakan selalu membutuhkan “ruh” yang mustahil dilihat mata telanjang. Lalu bagaimana cara melihatnya? Apabila sistem kontrol aturan diterapkan secara sangat ketat dan sangat rigid kepada guru atau karyawan sesungguhnya sekolah sedang nyicil kematian jangka panjang.

Aturan yang super ketat dan rigid itu menandakan matinya kesadaran guru atau karyawan akan makna kehadiran di sekolah. Bahkan hal itu cukup menyakitkan karena pudarnya sebuah kepercayaan. Apabila makna dan kepercayaan telah lenyap dari sanubari para guru atau pengurus yayasan, model pendidikan macam apa yang tengah diselenggarakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun