“Mampir ngombe,” kata orang Jawa, untuk menggambarkan hidup di dunia itu sementara, lengkap dengan relativitas yang semu. Ungkapan tersebut merupakan kekayaan bukan benda, kekayaan universal yang dimiliki bangsa Nusantara. Bagaimana nenek moyang memandang dan menjalani hidup direfleksikan oleh kebijaksanaan universal itu.
Tulisan ini tidak hendak menyelami kedalaman makna dan hakiki hidup. Setelah sekian lama menyadari suku kata bahasa Jawa betapa banyak ragam dan jenis ekspresinya, saya menilai nilai demokrasi sudah tertanam pada laku nenek moyang kita. Demokrasi kepada sesama dan alam lingkungan.
Khazanah Nuansa Semantik
Satu kata adalah simbol yang berisi kandungan rasa, epistemilogi, teologi, irama, paradigma. Mangano dan panganen misalnya, adalah dua kosakata yang cukup diterjemahkan menjadi “makanlah”. Bahasa Indonesia kehilangan jejak untuk menangkap nuansa, rasa, estetika, etika, paradigma kedua kata tersebut. “Makanlah” tidak atau belum akurat menuding itu semua.
Kita bisa mendaftar kata-kata lain: nyunggi, ngempit, mikul, nyengkiwing, nengguluk, nggendong. Semuanya disebut sebagai “membawa” dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa—juga bahasa daerah yang tersebar di bumi Nusantara memiliki rasa bahasa yang khas dan unik. Nuansa semantik ini tidak mungkin dicapai oleh manusia yang tidak paripurna menjalani hidup. Bahasa dan kosakata bukan sekadar alat komunikasi—ia adalah khazanah peradaban.
Sayangnya, khazanah nuansa semantik itu tak teralihbahasakan, tidak punya padanan langsung dalam bahasa Indonesia. Kita bisa menerjemahkan “nyunggi” dengan “meletakkan sesuatu di atas kepala”, namun, entahlah, ada nuansa dan rasa bahasa yang hilang. Sama-sama memukul—ngampleng dan ngeplak akan sangat sulit bahkan tidak kita temukan padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Bagaimana nuansa semantik itu terbentuk? “Orang Jawa tidak pernah belajar kalimat. Yang diajarkan adalah kosakata. Ketika tahu kosakata maka akan dengan sendirinya terbentuk sebuah dunia, karena kosakata diajarkan dengan sistem rasa, yakni makna yang menjelaskan hubungan rasa antar semuanya. Itulah hubungan bahasannya,” ungkap Manu W. Padmadipura Wangsawikrama, pakar bahasa-bahasa Nusantara.
Pengalaman yang Tak Teralihbahasakan
Problematika menemukan padanan atau alih bahasa itu tidak dialami oleh bahasa Indonesia saja. Bahasa Inggris pun mengalami hal serupa. Positive Lexicography Project yang diprakarsai Tim Lomas di University of East London bertujuan menangkap berbagai “rasa” kebahagiaan (beberapa di antaranya pahit-manis), dengan harapan kita dapat mulai menyertakan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang dialami oleh Lomas, yakni ratusan pengalaman "tak teralihbahasakan" mungkin juga kita alami. Paparan terkait kosakata bahasa Jawa yang tak terlacak padanan kata dalam bahasa Indonesia kerap membuat kita berpikir keras, dan tiba pada satu sikap: kita ambil diksi itu dari bahasa aslinya.
Kehilangan jejak semantik dialami bahasa Inggris ketika menerjemahkan “sisu”—bahasa Finlandia yang kira-kira berarti “kegigihan luar biasa di hadapan suatu tantangan". Grit (tabah), perseverance (gigih), atau resilience (tangguh), tidak cukup untuk menggambarkan kekuatan tekad yang terkandung dalam kata tersebut.