Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kapan Terakhir Kali Anda Melamun?

12 Mei 2017   19:02 Diperbarui: 12 Mei 2017   19:26 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://www.apakabardunia.com/

Pernahkah kita menimbang berapa “kilogram” peristiwa yang sesungguhnya tidak terlalu penting sedang memenuhi otak perhatian kita? Setiap orang pasti berbeda skala prioritas dan bobot perhatiannya terhadap peristiwa yang menyita hidupnya. Sebut saja, misalnya pembebasan Ahok, pembubaran HTI, Islam garis keras, ancaman NKRI dan seterusnya. Namun, benarkah itu semua harus membenam dalam jantung kesadaran—atas nama dan demi apapun—sehingga hidup terasa kaku, tegang dan seram? Ayolah rileks, Kawan!

Ajakan saya ini langsung direaksi oleh kawan saya sebagai sikap cuek yang berbahaya. Memerlukan durasi sekitar 30 menit baginya untuk mengkuliahi saya tentang Bhineka Tunggal Ika, kesatuan dan persatuan NRKI, potensi perpecahan yang direncanakan, penjarahan sumber daya alam Nusantara.

Melamun dan Momen Kreatif

Sekadar mengajak rileks saja urusannya jadi panjang dan rumit. Mengapa kita gampang tersulut dan disulut? Jangan-jangan yang kita perlukan bukan teori, formula, ideologi atau provokasi yang ndakik-ndakik—kita sedang sangat perlu melamun.

Ya, melamun—berpikir bebas secara asosiatif, atau bahkan acak dan melompat-lompat, tidak terutama tentang persoalan yang rumit dan berat. Sejenak melakukan refleksi. Ritme degup jantung tenang dan stabil. Nafas rileks tapi dalam. Raut muka sumringah. Jidat tak usah ditekuk. Kita menikmati alam kesadaran ketika salah dan benar, baik dan buruk, wangi dan busuk tidak terpolar sebagai lawan, tapi sebagai harmoni anugerah Tuhan.

Kita perlu berjarak dengan fakta dan informasi yang beredar di luar. Semacam melakukan “pause”, sejenak saja, sesuai ukuran kebutuhan kita masing-masing, agar tidak mabuk oleh konsumsi eksternal yang melampaui batas.

Membiarkan pikiran melayang, menerabas batasan-batasan logika, melakukan simulasi kejadian tanpa disesaki beban, dapat mengarah pada pemecahan masalah yang lebih kreatif. Dan itu bisa dikerjakan kapan dan dimana saja, di tengah tekanan batas waktu pekerjaan, saat duduk di angkot, atau bahkan ketika sedang menulis sebuah artikel.

Mungkin terasa sulit, tapi kita perlu terus menerus melatih kelenturan jaringan internal dan eksternal otak. Daniel Willingham, Profesor Psikologi di University of Virginia menyebut sistem internal yang diaktivasi itu bernama jaringan asal. Dua sistem atensi yang berbeda itu kerap digunakan secara tidak seimbang. Kita memberi porsi aktivasi yang sangat sedikit terhadap aktivasi sistem internal ini.

"Jaringan asal secara khusus aktif saat Anda berpikir tentang diri Anda sendiri, tentang masa lalu, tentang masa depan," kata Willingham. "Kedua (sistem atensi) tidak dapat aktif pada saat bersamaan, namun mereka terhubung dalam beberapa hal." Tidak dapat aktif secara bersamaam, namun kita bisa menggunakannya secara bergantian dalam satu aktivitas, seperti kerja sama antara tangan kiri dan kanan.

Sayangnya, kita terbelah oleh dikotomi bekerja dan rekreasi. Bekerja ya bekerja. Rekreasi yang rekreasi. Bekerja dan rekreasi menjadi dua kubu yang tidak usah saling melengkapi pada waktu yang bersamaan.

Maka, di tengah arus cepat informasi dan tuntutan pekerjaan kita memerlukan jeda, berhenti sejenak, rileks, untuk melamun—melepaskan tali yang mengikat gerak pikiran. "Momen-momen paling kreatif datang saat otak saya ijinkan beristirahat," kata Megan King, seorang desainer grafis untuk biro arsitek dan teknik Global Inc.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun