Sebagian besar sekolah, hari ini, sudah menyelesaikan Ujian Akhir Semester I. Satu minggu lagi siswa akan menerima rapot akhir semester. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) masih menjadi patokan untuk mengukur keberhasilan nilai setiap mata pelajaran. Idealnya, setiap nilai mata pelajaran siswa harus berada di atas KKM, minimal sama dengan KKM. Satu minggu menjelang penerimaan rapot, tidak sedikit guru mulai rajin “me-ngaji”— ngarang biji (nilai).
Saya tidak paham sepenuhnya fungsi KKM yang terkesan semena-mena ini. Walaupun ada rumus baku untuk menetapkan nilai KKM pada setiap bidang studi, namun hal itu tetap tidak manusiawi karena siswa bukan botol kosong yang berbaris rapi lalu diisi air ilmu pengetahuan. Bahkan tidak jarang seorang guru memilih shortcut—menghitung KKM tanpa menggunakan rumus baku—lalu menetapkan nilai KKM secara wajar misalnya 70.
KKM beralih fungsi bukan sekadar nilai minimal yang harus dicapai siswa—instruksi wali kelas atau kepala sekolah menyatakan, jangan ada nilai siswa di rapot berada di bawah KKM. Kalau nilai asli adalah 67 dan KKM bidang studi adalah 70 maka di rapot harus tertulis 70. KKM menjadi alat politik pencitraan dan simbol untuk mengamankan kepentingan sekolah.
Belum ada penelitian akurat berapa banyak guru atau sekolah yang menerapkan kebijakan yang tidak bijaksana itu. Namun, perilaku ngarang biji ini bukan rahasia lagi.
Silahkan pemerintah mengganti atau melakukan rivisi kurikulum nasional dengan model serta cara apapun. Silahkan para guru dilatih hingga ribuan jam. Selama pendidikan tidak segera diobati dari praktek formalisme yang terkesan remeh namun mendasar, benih yang kita semai di ladang persekolahan itu tak ubahnya benih yang gabug alias tanpa isi dan substansi. Kalaupun benih itu tumbuh, ia akan memiliki akar serabut—mudah tercabut dari tanah, bukan akar tunggang yang kokoh menghujam.
Ketika Guru Lelah dan Teledor
Media sosial kembali diramaikan oleh soal ujian sekolah yang melecehkan akal. Entah karena terobsesi kasus Ahok, atau sudah sangat lelah oleh tugas adminstrasi dan mengajar yang menumpuk, atau bangunan berpikir yang amburadul sedang menimpa bangsa ini—seorang guru membuat pertanyaan naif di lembar soal ujian. Silahkan ditelusuri bentuk soal ujian itu di media sosial. Akan kita jumpai cara berpikir yang sempit, sikap berpikir yang cupet, sudut berpikir yang kabur kini menjadi virus yang menyerang lingkungan sekolah.
Alasan klise akan berhamburan. Tuntutan mengajar 24 jam, tugas administrasi yang tidak ada habisnya: menyusun silabus, program tahunan, program semester, RPP, penetapan KKM, kisi-kisi soal ujian, analisis soal, format penilaian, nilai deskripsi, jurnal kelas, buku absen, daftar presentasi siswa, buku agenda mengajar, ulangan harian, LKS, analisis ulangan harian, program remidi dan pengayaan, bank soal, pencapaian ketuntasan kurikulum, buku catatan kasus siswa, pemberkasan tunjangan fungsional, penilaian kinerja guru, persiapan Uji Kompetensi Guru. Guru mati di lumbung kertas…
Sebuah puisi cukup menarik namun sarat dengan derita dan balada. Ditulis oleh siswa SMPN Purwakarta.
"Hari ini latihan soal, Nak...
Soalnya lima buah, pilihan ganda.
Jangan ribut, bapak di perpustakaan, menghitung angka kredit.
Sudah delapan tahun bapak tidak naik pangkat."
Itu ucapan Pak Umar guru matematikaku pada jam pertama.