Tidak ada manusia rela dibohongi. Namun, mengapa berita palsu, kabar hoax kerap menyebar begitu cepat, menjadi viral yang sambung menyambung, lalu mengendap menjadi cetakan mindset berpikir? Mengapa berita palsu yang menjadi viral itu memabukkan banyak orang sehingga mereka merasa berkewajiban menyebarkannya? Apakah berita hoax sekadar berita palsu atau terdapat kepentingan dari dalam diri kita yang ikut bermain?
Amma ba’du. Berbagai analisa dipaparkan untuk mengendus thariqah berita palsu yang menguasai banyak orang. Mark Zuckerberg berjanji akan mengatasi berita-berita palsu di Facebook. Sejauh ini berita palsu yang beredar di Facebook hanya satu persen, demikian penegasan Zuckerberg. Artinya, 99 % berita di Facebook bersifat otentik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Kendati demikian, pengguna media sosial perlu memahami “kasunyatan” pada yang sisi berbeda. Kasunyatan itu bisa dipelajari dari konsep filter bubble—konsep algoritma yang membaca perilaku pengguna media sosial. Eli Pariser berargumen, siapa yang kita pilih sebagai teman, link berita yang kita bagi, halaman favorit yang kita suka, dan tautan yang kita buka, dibaca oleh filter bubble dan membentuk identitas kita di media sosial.
Menurut Pariser, mesin algoritma Facebook dan Google akan memetakan identitas kita lalu mengirim newsfeed sesuai selera identitas itu. Jika kita penggemar fotografi, newsfeed yang ditawarkan akan tidak jauh dari urusan fotografi.
Dalam skala pribadi pengguna media sosial akan dikurung oleh minat dan kecenderungan yang homogen, linier, sewarna. Setiap pengguna hidup dalam alam maya, yang pilihan dan tampilan newsfeed mereka menunjukkan "warna egoisme” yang khas.
Filter Bubble: Kasunyatan Media Sosial
Apa yang terjadi ketika warna egoisme itu melakukan interaksi? Secara sederhana ada dua kemungkinan. Pertama, warna itu akan semakin kuat, menggumpal, menyatu, mengelompok dalam nuansa warna yang sama. Kedua, warna egoisme itu akan bertemu dalam bingkai kepentingan yang berbeda—saling bertarung, saling mendominasi, saling menguasai, saling menyingkirkan satu sama lain. Berita palsu atau hoax menemukan lahan subur pada dua kenyataan itu. Setiap warna egoisme itu memerlukan penegasan atau penegasian untuk menguatkan eksistensisme.
Homogen warna identitas yang dihasilkan konsep filter bubble akan membentuk deret hitung konsekuensi, dampak, resiko, bencana yang sangat panjang—mulai putus tali pertemanan, potensi makar hingga skala yang lebih luas. Mindset berpikir mudah digiring, dikendalikan, diarahkan, dikooptasi sesuai grand design kepentingan tertentu. Mengapa hal ini menimpa pengguna media sosial?
Warna egoisme yang berhasil diidentifikasi oleh konsep filter bubble itu tak lain adalah gambaran diri subjektif pengguna media sosial. Diri subjektif ini sangat mudah terkontaminasi agenda atau keinginan. Yang menjadi panglima diri subjektif adalah rasa suka dan tidak suka. Bukankah rasa suka dan tidak suka menjadi model interaksi di Facebook?
Sedangkan dalam khasanah budaya Jawa, rasa suka atau tidak suka akan menghalangi mata pandang seseorang untuk menangkap ilmu kasunyatan yang sebenarnya. Rasa suka dan tidak suka menghalangi objektivitas kita dalam berpikir. Misalnya, kita menyukai seorang tokoh tertentu, lalu kita beranggapan bahwa diktasi apapun dari tokoh tersebut sudah pasti benar. Sebaliknya, ketika kita tidak suka pada tokoh tertentu, kita beranggapan apapun yang dikatakan dan dikerjakan tokoh tersebut pasti salah.
Rasa suka dan tidak suka tidak berdiri sendiri—ia terkait langsung dengan kepentingan diri subjektif. Kebenaran yang dibangun oleh rasa suka—mudah ditebak—pasti sesuai dengan rasa kepentingan diri subjektif. Ketidakbenaran yang dikecam itu pun berlaku sebaliknya—ia tidak mendukung atau menghalangi kepentingan tersebut.