“Jamaah ya, Mas?” tanya perempuan muda itu. Saya tersenyum dan menjelaskan bahwa saya bukan jamaah. Dari raut wajahnya ia masih belum percaya bahwa saya bukan jamaah. Saya jadi bercerita asal usul bapak-ibu, kakek-nenek, mbah-buyut saya. Cerita panjang lebar tidak membuat perempuan di depan saya ini lantas menggeser anggapan bahwa saya bukan jamaah. Ia seperti justru meragukan cerita saya.
Zaman nyantri di kota Malang bahkan seseorang “menuduh” saya berbohong, sengaja menyembunyikan nasab, berendah hati sebagai orang yang memiliki garis keturunan habib atau sayyid. “Pokonya sampeyan ini habib. Saya tahu itu. Saya yakin!” katanya tegas. Saya pun bersikap toleran terhadap sikap dan keyakinan orang itu.
Jamaah adalah sebutan lain untuk habib atau sayyid. “Tuduhan” bahwa saya adalah jamaah atau habib atau sayyid tidak lantas membuat saya besar kepala, walaupun hingga hari ini saya belum pernah mendayagunakan tuduhan itu misalnya untuk mobilisasi massa pengajian dan membuat saya termasyhur.
Saya bangga dan nrimo dijadikan Tuhan sebagai wong jawa, orang jawa—lahir dan menghirup udara bumi Jawa. Tuhan pasti punya maksud dan menitipkan visi misi penciptaan-Nya atas lahir, hidup dan mati saya. Maksud atau visi misi penciptaan itu dalam terminologi Islam disebut tugas kekhalifahan. Jadi saya tidak akan neko-neko apalagi merestui anggapan, tuduhan, prasangka, dugaan bahwa saya adalah jamaah, habib, sayyid, atau apapun istilah panggilan yang disematkan pada keturunan Nabi.
Menemukan Satu dalam Dua
“Temukan satu dalam dua. Satu dan dua dalam tiga. Satu, dua, tiga dalam empat. Jangan berada di tujuh tanpa kesadaran enam, lima, empat dan seterusnya!” demikian pesan Mbah Markesot. Inilah kesadaran kontinuasi. Bahwa hidup tidak ujug-ujug dan setiap peristiwa tidak berlangsung secara tiba-tiba perlu dipahami sebagai kontinuasi rangkaian sebab akibat.
Kacang ora ninggal lanjaran, kata orang Jawa. Tanaman kacang tidak akan meninggalkan tempat tumbuhnya. Dalam konteks tuduhan bahwa saya adalah jamaah, kalau saya meng-iya-kan anggapan itu, menyetujuinya, memanfaatkan untuk kepentingan pribadi karir dan hidup saya, maka saya sedang menabung bertumpuk-tumpuk kesalahan. Menyalahi kodrat kontinuasi, melanggar visi misi penciptaan Tuhan, membohongi publik, menyebarkan hoax-nasab, dan sejumlah kemudaratan lain, yang akibat dari itu semua tidak harus menunggu di akhirat—bahkan hukuman itu bisa menimpa saya sekarang dan di sini. Melanggar kodrat kontinuasi tak ubahnya menabung kehancuran di masa depan.
Namun, dalam konteks pribadi hingga skala yang lebih luas dan kompleks, demi memenangkan pertarungan kepentingan politik, demi melangsungkan hajat mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, demi pamrih modernisme, kapitalisme, materialisme yang sedang menjadi “nyawa” setiap keputusan—orang tidak peduli lagi terhadap akar kodrat kontinuasi.
Itu contoh kasus “kecil” tentang berlangsungnya perilaku nir-kontinuasi di negeri ini. Saat manusia dan institusi pragmatis politik, pendidikan, ekonomi bahkan menjalar pada agama hingga rumah besar yang kita huni bersama, merasa tidak perlu lagi menemukan kodrat dan akar kontinuasi, dari skala paling mikro hingga makro atas peristiwa, regulasi, kebijakan, undang-undang.
Hoax adalah Wajah Nir-Kontinuasi
Tidak heran hoax merajalela karena ia berkembang secara optimal dalam atmosfer udara yang tidak memprimerkan otentitas dan orisinalitas. Ayam memberitakan dirinya sebagai burung, karena ayam sendiri tidak menyadari dirinya adalah ayam. Burung memperlakukan dirinya sebagai kucing, karena burung sudah disekolahkan agar menjadi kucing. Hingga kurun waktu tertentu ayam berpikir sebagai burung dan burung berperilaku sebagai kucing.
Jadi hoax bukan sekadar kasus berita palsu—hoax akan selalu berurusan dengan orisinalitas dan otentitas yang berakar pada kodrat kontinuasi. Yang patut kita cemaskan adalah kesadaran memerangi hoax dinyatakan sebagai hoax itu sendiri, akibat budaya nir-kontinuasi. Otentitas dan orisinalitas dikaburkan oleh gerak resonansi yang bukan alur lanjutan dari akar sejarah bangsa.
Fakta itu tercermin dari persoalan sistem dan model pendidikan nasional yang tidak diwataki pondasi kontinuasi ke-Indonesia-an. Siswa di-hoax-i oleh institusi bernama sekolah agar menjadi pribadi yang lain, yang bukan dirinya, yang mematikan benih kodrat kontinuasi yang sudah disemai Tuhan.