Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

GenRe: Bukan Sekadar Kawin, Beranak, dan Berbahagia

28 Agustus 2016   23:54 Diperbarui: 29 Agustus 2016   00:40 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: http://www.sumut24.co/suci-chasara-nasution-duta-mahasiswa-sumut-genre-2016/

Apakah bahagia itu? Pertanyaan yang tidak pernah selesai bahkan sejak bumi dihuni manusia pertama sampai kelak batas waktu dunia berakhir. Bahagia—entah makhluk apa ia. Penuh misteri, rumit, berlapis-lapis, getaran-getaran aneh, tapi hadir begitu nyata di momen krusial hidup seseorang.

Sedemikian sederhana rasa bahagia dan sarat misteri mengejawantah di ruang hati sehingga rumus dan definisinya mengalir dari seorang filosof sampai pedagang kaki lima; dari yang berburu bahagia bagaikan mengejar bayangannya sendiri sampai seorang nenek tua yang memenuhi kebutuhan hidup dengan berjualan air mineral di terminal; dari para koruptor yang bagaikan serigala lapar sampai seorang rahib yang tenggelam dalam sunyi pencerahan.

Nicomachean Ethics,yang ditulis Aristoteles 2300 tahun lalu, menyuarakan denting bening apa itu bahagia. “Dia yang berbahagia adalah yang hidup sejalan dengan keutamaan dan terpenuhi segala kebutuhannya—bukan untuk sementara, melainkan selama-lamanya.”

Selama-lamanya, apakah ia keabadian tanpa batas, kekal, yang bergaris pinggir entah? Ataukah bahagia itu sejenis makhluk abadi yang merangkul manusia-manusia abadi berkat setiap apa yang dikerjakan menjangkau keabadian? Ataukah bahagia adalah tak lain dari energi itu sendiri, sekadar “malih rupa” yang tidak bisa diciptakan dan dilenyapkan?

Atas semua pertanyaan itu kita tidak harus menjawabnya sekarang. Bahagia akan selalu otentik hadir di setiap ruang rasa manusia. Justru yang mendesak untuk diklarifikasi adalah mengapa kita bahagia? Bagaimana kita meraih bahagia? Atau lebih spesifik dan teknis, apa yang membuat kita merasa bahagia?

Pertanyaan yang menggoda itu akan mengantarkan kita pada pemahaman, kebahagiaan bukanlah semata-mata perwujudan rasa senang—yang membuat kita tersenyum, melainkan hidup yang dijalani secara mulia, hidup yang jelas mengandung banyak rasa sakit, seperti diungkapkan Darrin M. McMahon, sejarawan dari Florida State University, dalam Happiness: a History (2006).

Hidup bermartabat, menjaga harga diri secara jujur dan apa adanya, tanpa beban keinginan menjadi orang yang bukan diri kita merupakan laku hidup bahagia. Kita memang tidak sedang membabar uang, harta melimpah, jabatan dan kekuasaan sebagai faktor dominan yang disangka oleh pemabuk materialisme sebagai tuhan yang menghadirkan kebahagiaan. Kita sedang menggali tanah kehidupan, menemukan akar kebahagiaan. Sedangkan segala asesoris dan simbol-simbol yang disangka “penampakan” wujud bahagia sesungguhnya adalah bisikan-bisikan hati yang diliputi rasa cemas dan was-was.

Tidak heran ketika Cicero, pemikir dan negarawan Roma, menegaskan orang yang bahagia akan tetap bahagia sekalipun terikat di tiang penyiksaan. Penegasan Cicero mengingatkan kita pada sosok Nelson Mandela, Soekarno, atau pejuang kemanusiaan yang secara sengaja ditimpakan beban derita kepada mereka melebihi ambang batas kesanggupan manusia. Semakin ditimbun batu-batu cadas derita, akar pohon kebahagiaan mereka semakin menghujam ke perut bumi.

Mengukur Kebahagiaan?

Adalah Sustainable Development Solutions Network (SDSN) lembaga bentukan PBB menerbitkan laporan kebahagiaan dunia. World happiness report dirilispertama kali pada 2012. Semacam upaya untuk mengukur kebahagiaan di 157 negara dengan melibatkan para ekonom, neurosaintis, dan ahli statistik untuk mengumpulkan data yang meliputi enam variabel, yaitu produk domestik bruto (PDB) per kapita, usia harapan hidup dalam keadaan sehat, bantuan sosial, kebebasan, kedermawanan, dan kebersihan dari korupsi.

Kebahagiaan yang bersembunyi dalam goa misteri dihadirkan melalui variabel-variabel penelitian. Tidak jadi masalah selama hasil dari penelitian itu dijadikan rujukan dan pertimbangan untuk meningkatkan kebahagiaan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun