Adakah yang lebih gagah berfoto di antara mayat yang tergeletak? Kegagahan model apa yang sedang diperagakan dengan cara berfoto di antara mayat yang tergeletak? Mengapa manusia merasa perlu meng-gagah-i manusia lain dengan gagah berfoto di antara mayat yang tergeletak?
Lima mayat tergeletak, dan para manusia gagah berpose sambil mengepalkan tangan. Pemandangan yang paradoks—kegagahan yang dibangun oleh kenyatan yang justru menunjukkan kesan sebaliknya. Paradoks yang lain, belasan orang itu hidup dan lima orang lainnya mati. Mereka yang gagah adalah penegak hukum, dan yang tergeletak jadi mayat adalah pelanggar hukum. Yang berpose gagah adalah aparat negara, dan yang mati sia-sia adalah gerombolan keparat.
Namun, yang hidup dan yang mati sama-sama manusia. Sedemikian rupa manusia saling berhadapan, seakan diciptakan Tuhan untuk saling bermusuhan melalui gelembung-gelembung kebudayaan yang mereka masuki sendiri. Saling menghabisi nyawa, saling meniadakan, saling beranggapan orang lain adalah bukan manusia.
Manusia sibuk bertengkar dan saling mempertengkarkan gelar dan simbol eksistensi, sibuk mempertengkarkan persangkaan-persangkaan yang mereka ciptakan sendiri. Persangkaan yang terkurung oleh gelembung paradoks—yang satu menyebut dirinya liberal untuk menyetempel yang lain dengan cap radikal.
Fundamentalis, moderat, ortodoks, garis kiri, garis kanan, garis lurus, garing bengkok, sosialis, kapitalis, wahabi, salafi—manusia berkumpul dalam kelompok-kelompok, golongan-golongan, spesialisasi-spesialisasi, aliran-aliran, sekte-sekte. Mereka memilih salah satu dari istilah-istilah yang mereka ciptakan itu.
Manusia sibuk memecah diri, mreteli kesadaran, merajang keutuhan untuk meciptakan pecahan-pecahan, butiran-butiran, padatan-padatan. Manusia mereduksi martabat kemanusiaan menjadi persangkaan yang berujung pada pertengkaran. Foto berpose gagah di antara para mayat, dalam konteks kesadaran yang terkeping-keping itu, merefleksikan “yang penting gagah” adalah tujuan primer.
Kostum kemajuan peradaban manusia hanya mengenal paradoks-paradoks: hidup-mati, gagah-lemah, kaya-miskin, ulama-pedosa dan seterusnya. Mereka berhimpun dalam kotak-kotak, garis-garis, kubu-kubu dengan berbagai varian dan jenisnya.
Bahwa sejatinya hidup itu merangkum dua hal yang paradoksal tidak menjadi kesadaran utama. Manusia terlempar-lempar oleh bandul persangkaan yang mereka bikin sendiri—aku tidak mau melarat, maka aku harus kaya. Aku tidak mau terlihat lemah, maka aku harus gagah. Aku tidak mau ndeso, maka aku harus jadi orang kota.
Padahal, jarak antara miskin dan kaya, lemah dan gagah, ndeso dan kutho, bodoh dan pintar memiliki jarak-skala yang sangat-sangat detail, lembut, berlapis-lapis, samar-samar, hingga pada konteks tertentu mengandung kegaiban yang untuk memahaminya manusia tidak cukup berbekal cara pandang materialisme.
Tidakkah terpikir bahwa dalam kemiskinan terkandung pula kekayaan, dalam kebodohan terkandung kepandaian, dalam kelemahan terkadung kegagahan, dalam kehidupan terkandung pula kematian—serta sebaliknya?
Maka, berpose gagah di antara para mayat mengandung pula sifat lemah: lemah rasa manusiawi, lemah kesadaran sawang sinawang, lemah empati, serta kelemahan substansial lainnya yang menunjukkan manusia itu makhluk makro sekaligus mikro.