Kekerasan dalam pendidikan tinggi kembali memakan korban. Memasuki awal 2017 kita disodori dua peristiwa tragis: tewasnya mahasiswa STIP Jakarta dan UII Yogyakarta. Rantai kekerasan yang terjadi pada mahasiswa dan siswa seperti lingkaran api—begitu mudah tersulut walau disebabkan oleh tindakan sepele. Kasus klithih yang melibatkan pelajar SMA di Yogyakarta seolah mengabarkan bara api marah dan dendam sedang membara dalam dada para remaja.
Kasus kekerasan antarmahasiswa dan pelajar di lingkungan pendidikan kerap terjadi dalam situasi berkelompok atau berjamaah. Orientasi siswa atau mahasiswa baru, kegiatan pendidikan dasar, latihan dasar kepemimpinan (LDK) menjadi ajang yang rentan membawa korban. Pola kepemimpinan yang diilhami oleh habitus kekerasan dan dijalankan secara turun-temurun merupakan tradisi klasik yang tidak gampang diputus. Terjadi budaya kontinuasi kekerasan sehingga senior yang sedang berkuasa akan menindas yunior.
Habitus kekerasan ini tentu tidak kasat mata, mengingat pendidikan akan selalu menawarkan visi, misi, tujuan, bahkan citra edukatif. Belum pernah ditemukan dalam modul kegiatan anjuran agar menyiksa siswa baru atau mahasiswa yunior. Tidak ada sekolah atau pendidikan tinggi yang bersikap “gila” mendidik siswa atau mahasiswa dengan cara kekerasan. Semua diawali oleh niat baik, tujuan yang mulia, metode yang jitu. Proposal kegiatan pun disusun secara sempurna.
Kekerasan yang Diwariskan
Namun, di tengah pelaksanaan kegiatan—ketika komunikasi mulai didominasi oleh stereotip sopo siro sopo ingsun—pintu kekerasan mulai terbuka. Jangankan adik-adik mahasiswa—para guru yang aktivitas mengajar mereka dipandu oleh RPP, masih sering kecolongan melakukan tindak kekerasan fisik atau nonfisik, verbal atau nonverbal. Tidak selalu memukul memang, namun seorang guru yang merendahkan harga diri siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah misalnya, telah menistakan kemanusiaan.
Perilaku kekerasan dalam pendidikan tidak berdiri sendiri dan muncul tiba-tiba. Rekaman historis kekerasan akan tampil kembali pada saat yang bersangkutan memegang kendali kekuasaan. Guru berkuasa atas murid-muridnya. Pelajar atau mahasiswa senior berkuasa atas teman-temannya yang yunior. Psikologi komunikasi yang dilambari aura kekuasaan menempatkan seseorang berada pada subjektivisme benere dewe.
Berkuasa di sini akan didukung pula oleh mekanisme atau aturan sosial tak tertulis yang membenarkan setiap tindakan dan keputusan. Nilai-nilai perilaku berserta ragam tafsir dalam kelompok sudah pasti di genggaman tangan mereka yang berkuasa.
Stereotip sopo siro sopo ingsun: yang berkuasa menindas pihak yang dikuasai, dalam berbagai aspek dan dimensi, tak terhindarkan lagi. Pintu dialogis tertutup. Kesejajaran komunikasi diganti strukturalisme sepihak. Seorang guru berada pada posisi pasti benar dan siswa pasti pada posisi salah; senior pasti benar dan yunior pasti salah. Benar dan salah ini akan diikuti pula oleh misalnya, yang baik pasti milik guru atau senior sedangkan yang buruk pasti milik siswa atau yunior.
Efek Plasebo dalam "Teater" Pendidikan
Akar dari semua itu adalah sistem keyakinan yang berkembang dan tumbuh dalam alam pikiran, diwariskan secara turun-temurun, direkam oleh bawah sadar. Sistem keyakinan ini menjadi kesadaran kolektif—ditularkan melalui mekanisme sistem belajar yang diselenggarakan secara kolektif pula.
Sistem keyakinan itu dipentaskan melalui teater pendidikan lengkap dengan adegan, latar, dan kostum yang digerakkan oleh habitus kekerasan, baik secara terang-terangan, tersembunyi hingga doktrin tentang dalil-dalil absurd atas nama sukse masa depan.