Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Diabetes yang Mengintai dan Sawang-sinawang yang Kuno

12 Januari 2017   23:11 Diperbarui: 13 Januari 2017   19:45 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://indrajied.blogspot.co.id

Salah satu bentuk “keberhasilan” manusia modern menjalani kehidupan adalah terciptanya ketimpangan demi ketimpangan—setiap pencapaian mengantarkan pelaku pada kondisi ekstrim. Ibarat rentang bilangan yang berpusat pada angka nol, kehidupan di zaman ini akan menyeret kita bergeser atau bahkan terlempar ke deret positif atau negatif. Yang merasa optimis akan diharubiru oleh optimisme. Yang merasa pesimis akan dicengkeran oleh pesimisme. Demikian seterusnya hingga nyaris tidak tersedia ruang keseimbangan yang menjadi pusat kesadaran.

Individu, jamaah, lembaga, institusi, hingga negara akan selalu berkutat mengatasi ketidakseimbangan serupa “lingkaran setan” ini. Mulai hulu sampai hilir persoalan telah tertanam bibit ketimpangan dan diakari oleh paradigma yang belum sepenuhnya beres.

Ketimpangan paling gamblang misalnya terjadi pada penggunaan kata yang tidak pernah dicermati secara serius. Kata “lapar” misalnya, akan selalu menjadi hantu menakutkan. Kita bekerja siang malam, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, hingga manusia kok mencuri merupakan bukti kegagalan memahami makna dan pengertian “lapar”.

Dalam pengertian denotatif “lapar” menjadi tanda bahwa perut perlu diisi makanan. Begitu rasa lapar teratasi, stop makan! Sederhana bukan? Sangat-sangat sederhana—sesederhana jenis dan kuantitas makanan yang kita santap, karena aktivitas makan sejatinya bukan untuk mencapai rasa kenyang. Sebelum kenyang pun—ketika lapar telah pergi—kita berhenti makan. Batasan denotatif yang diberangkatkan oleh rasa lapar sebenarnya cukup gamblang dan terukur.

Namun, persoalan lapar, makan, dan kenyang tidak semudah itu diselesaikan. Hidup di alam denotatif terasa membosankan. Standar batasan yang mensyaratkan keseimbangan diterjang oleh nafsu konotatif. Rasa lapar bukan sekadar rasa lapar—ia adalah selera kuliner, gaya hidup, status sosial, citra sukses, lobi politik, negoisasi kekuasaan. Ketika kita harus menerapkan batas keseimbangan, kita menerjanganya. Pada saat harus menerapkan kebebasan, kita minta dibatasi. Hidup jadi kewolak-walik, terbalik-balik.

Diabetes yang Mengintai

Sadar batas keseimbangan ini menjadi problem serius yang dialami oleh hampir setiap manusia zaman ini. Siapa tidak ingin hidup makmur sejahtera? Bahkan standar hidup makmur sejahtera itu kini menjadi gumpalan-gumpalan, yaitu eksis, kaya, berkuasa. Rumus kemakmuran yang menggumpal itu sebenarnya sudah bermasalah dan mengganggu keseimbangan hidup.

Di tengah jerih payah mengumpulkan gumpalan-gumpalan kekayaan dan kursi kekuasaan kita bergerak limbung. Kita menerjang batas denotatif keseimbangan rasa lapar—lapar eksistensi, lapar kekayaan, lapar kekuasaan menjelma menjadi rasa kelaparan.

Maka, pertumbuhan ekonomi sebuah negara tidak selalu menjadi kabar baik. Pertumbuhan ekonomi India melesat sejak kebijakan reformasi pasar bebas dilakukan Perdana Menteri P.V Narasimha Rao pada 1991. Pertumbuhan tahunan rata-rata 8 persen selama beberapa tahun terakhir. PDB India berkembang empat kali lipat selama lebih dari dua dekade.

Namun, hal ini menimbulkan persoalan baru: gaya hidup yang tidak sehat serta pola makan yang tidak terkontrol, memicu diabetes. Pada 2011 penderita diabetes di India telah mencapai lebih dari 50 juta orang dan angka ini diperkirakan akan meningkat sebanyak 150 persen dalam 20 tahun ke depan, demikian laporan Deutsche Welle.

Bank Dunia memperkirakan India telah kehilangan lebih dari $23 miliar per tahun untuk penyakit diabetes dan jantung koroner. Jika penyakit ini tak ada, pertumbuhan ekonomi India bisa meningkat hingga 4 persen per tahun. Kemakmuran ekonomi dibayangi oleh diabetes yang mengintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun