Malam sudah sangat larut. Bagi para kelelawar malam semilir dingin yang menusuk kulit adalah tanda yang menunjukkan malam sudah lewat pukul dua belas. Selarut itu malam merangkak belum menunjukkan kegelisahan sahabat saya tuntas terurai.
Gelisah sahabat saya bukan dipicu oleh kegelisahan pribadi. Ia menanggung gelisah atas apa yang menurutnya adalah kemunduran tapi oleh sebagian orang di sekitarnya dinilai sebagai kemajuan. Kebodohan dibungkus kepandaian. Keserakahan digantinama kedermawanan.
“Siapa tidak gelisah menyaksikan paradoksal seperti itu?” Ia bertanya dengan suara memberat.
“Sebenarnya kamu berbicara tentang apa? Lingkup bidangnya apa? Agama, pendidikan, politik…?”
“Nah itu!”
“Nah itu yang mana?”
“Pendidikan,” jawabnya singkat.
Ternyata selain dipicu oleh fakta paradoks yang bertubi-tubi menghantam common sense, kegelisahannya juga disebabkan oleh tulisan saya: THR, Tabungan Hari Raya ala Anak-anak Ngaji.
“Lhadalah, kamu membaca tulisan itu sehingga gelisahmu makin memuncak?”
“Jangan salah paham dan jangan besar kepala. Tulisanmu itu lumayan jernih,” katanya. “Justru kejernihan itu menyeret saya pada situasi serba paradoks tadi.”
“Kok bisa begitu?”