Tak bisa dimungkiri cara berpikir warisan kolonial Belanda yang menjadikan sekolah sebagai tempat mencetak tenaga kerja murah masih sering kita jumpai. Lebih gamblang lagi, sekolah bertujuan untuk menghasilkan “kuli terdidik” yang sesegera mungkin diserap bursa tenaga kerja.
Didukung oleh sikap berpikir sebagian besar masyarakat yang bercita-cita agar “derajat” kelas sosialnya naik, tujuan bersekolah adalah agar anak menjadi pegawai terhormat, orang kantoran, berseragam gaya ambtenaar, walaupun gaji tidak seberapa.
Karena telah terbiasa oleh sikap berpikir warisan kolonial itu, tujuan bersekolah terjebak tidak terutama untuk mencintai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekolah menjadi semacam shortcut untuk mencapai impian masa depan dengan gambaran yang cukup ringkas dan sederhana: pegawai tetap, gaji tetap, citra kelas sosial terhormat.
Kenyataan itu masih harus dibangun oleh paradigma pendidikan yang salah kaprah. Prestasi akademik menjadi idola parameter yang diterapkan guru dan orangtua untuk menilai sekaligus memprediksi masa depan seorang siswa. Apabila sejak sekolah dasar seorang anak berhasil meraih prestasi akademik, diprediksi bahkan dipastikan ia memiliki masa depan cerah untuk diterima di SMP favorit atau unggulan.
Demikian seterusnya sampai sang anak bersekolah di SMA dan menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Orientasi prestasi akademik adalah kunci meraih sukses masa depan. Sekolah dan perguruan tinggi dalam kasus dan kadar tertentu adalah produsen kunci-kunci tersebut. Pintu gerbang yang hendak dibuka dengan kunci itu adalah bursa tenaga kerja. Begitu pintu terbuka, tercapai sudah masa depan. Selesai.
Tentu saja kita bisa mengumpulkan sejumlah dampak akibat memaksa anak agar mengusai “kunci” pretasi akademik. Mengikutsertakan anak dalam bermacam-macam les privat mata pelajaran dengan asumsi akan meningkatkan kecerdasan anak (IQ); mengandalkan jargon-jargon takhayul tentang iming-iming serba instant seperti “program unggulan” yang tidak unggul; menerapkan tips dan trik mendidik anak yang terkadang tidak rasional—semua itu ditempuh demi meraih kunci masa depan dengan menjadikan anak sebagai obyek yang dikorbankan.
Sekolah benar-benar menjadi ajang untuk menghasilkan “kuli terdidik”. Mencintai ilmu pengetahuan, pengabdi kehidupan, penemu teknologi, penggerak pemberdayaan komunitas, bahkan menjadi seorang petani bagi sarjana pertanian merupakan “aib” di tengah cita-cita materialisme pendidikan yang menghamba pada kepentingan pasar.
Jumlah tenaga pendidikan memang bertambah tanpa diimbangi kualitas guru. Jumlah peserta didik meningkat tanpa diikuti etos belajar seorang murid. Sekolah mengalami pendangkalan filosofi dan etos keilmuan. Apa dampak semua itu?
Sekolah bermental shortcut akan melemahkan lahirnya para peneliti. Tradisi penelitian di Indonesia tergolong lemah. "Dalam setahun penelitian yang dipublikasikan di Indonesia maksimal hanya sekali, padahal jika melihat negara-negara lain, seperti Tiongkok publikasi ilmiah bisa mencapai tiga hingga empat kali dalam setahun," ungkap Prof Didik Sulistyanto, Reviewer Hibah Penelitian Kemenristedik Dikti.
Lemahnya keterampilan menulis selain menyebabkan publikasi jurnal ilmiah masih kurang, kasus plagiat karya ilmiah kerap menjadi berita yang memalukan. Jumlah peneliti pun tergolong kurang mengingat wilayah dan potensi Indonesia yang cukup luas dan besar.
Berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) jumlah peneliti per Juni 2016 berdasarkan instansi pemerintah, Kementerian Pertanian memiliki jumlah peneliti paling banyak yaitu 1.850, LIPI 1.615, Kemendikbud 837. Peneliti paling sedikit ada di Kementerian Agama, yaitu 198 peneliti, diikuti oleh Kementerian Perhubungan 155, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi 148.