Mengapa sejak ada media sosial kita jadi mudah baper? Perilaku saling lapor itu sebenarnya didorong oleh kebutuhan apa? Ataukah perasaan kita sudah terlalu sensitif saat diperlakukan kurang nyaman oleh orang lain? Deretan pertanyaan itu mengemuka saat seorang kawan pagi-pagi bertamu ke rumah. Saya jadi gelagapan. Kopi panas di depan saya terasa makin pahit saja.
Usai kawan saya pulang setelah menumpahkan uneg-uneg dan keluh kesahnya, giliran saya termangu sendiri. Pertanyaan itu tidak mau pergi—malah berputar-putar di atas kepala. Kenapa saya jadi kepikiran ya?
Berbeda pendapat itu wajar. Berselisih argumen itu lumrah. Namun, tidak setiap orang siap apalagi rela melapangkan dadanya untuk menampung perbedaan. Biasanya setiap pihak akan bersiteguh menggenggam pendapatnya sendiri. Ini pun tidak menjadi persoalan selama pihak yang berselisih memiliki kesadaran bahwa perbedaan pendapat itu dibatasi oleh konteks ruang dan waktu.
Saya teringat kisah dua manusia hebat, Kyai Wahab Hasbullah pendiri Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas dan Kyai Bisri Sansuri, pendiri Pondok Pesantren Mamba'ul Ma’arif Denanyar Jombang. Bukan rahasia lagi, Mbah Wahab dan Mbah Bisri kerap berbeda pendapat dalam masalah hukum Islam. Saking kerasnya adu argumen tidak jarang Mbah Wahab atau Mbah Bisri menggebrak meja.
Kalau mendengar adzan beliau berdua akan berhenti berdebat, berjalan bersama menuju masjid. Ah, indahnya. Mbah Wahab dan Mbah Bisri tidak baper karena bisa meletakkan konteks persoalan dan perbedaan pada tempatnya. Dari teladan para tokoh sesepuh inilah warga Nahdliyin tidak mudah terprovokasi oleh perbedaan.
Baper—sebagaimana tangis, kerap diidentikkan dengan keadaan emosi seseorang yang lemah. Orang yang mudah baper atau menangis adalah orang yang emosinya tidak stabil atau labil. Naluri feminitas dituding sebagai salah satu penyebab seseorang gampang melibatkan perasaannya.
Tudingan itu tidak sepenuhnya benar karena seorang laki-laki dengan naluri maskulinitasnya tidak jarang terbawa oleh baper dan pada kondisi tertentu juga meneteskan air mata.
Baper yang Dikonotasikan Negatif
Akhirnya, baper dan sensivitas menerima konotasi yang negatif—cengeng, lemah mental, mudah goyah, kurang tangguh. Seorang laki-laki yang menangis dinilai bukan lelaki yang tangguh. Seorang perempuan yang meneteskan air mata dianggap wajar sebagai makhluk yang lemah. Menangis menjadi pilihan ekspresi yang serba salah dan patut dihindari. Hingga pada situasi tertentu menangis adalah mengalirnya air mata buaya.
Jika memang demikian konotasi yang ditimpakan pada tangis, mengapa Tuhan memberi air mata pada manusia? Konon, Nabi Adam dan Ibu Hawa menangis hingga air matanya menganak sungai.
Dalam hal ini bahasa Jawa memiliki ungkapan yang unik. Nangis (tangis) itu baik. Yang tidak baik adalah nangisan (gampang menangis). Ngantuk (mengantuk) itu baik. Yang tidak baik adalah ngantukan (sering dan gampang mengantuk). Ngentut (kentut) itu baik. Yang tidak baik adalah ngentutan (sering kentut). Ada pula nasehat: iso rumongso, ojo rumongso iso. Jadilah orang yang bisa merasakan. Jangan menjadi orang yang merasa bisa.Â