Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bagaimana Menjadikan Sekolah Bukan Tempat Menabung Tragedi Hidup

24 Januari 2016   02:27 Diperbarui: 24 Januari 2016   02:32 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selepas pukul 19.00 WIB beberapa anak sekolah dasar biasanya akan berkumpul di rumah saya. Mereka menyelesaikan tugas sekolah mulai dari mengerjakan pekerjaan rumah, mengisi Lembar Kerja Siswa (LKS), atau sekedar mengulang pelajaran hari sebelumnya. Anak-anak itu belajar didampingi istri saya.

Sesekali saya bergabung bersama mereka karena istri bertanya soal-soal di LKS yang tidak bisa mereka jawab. Saking seringnya istri bertanya, anak laki-laki saya nyeletuk, “Cari saja di Google, pasti ketemu.” Saya jadi penasaran dengan ragam pertanyaan di LKS untuk siswa kelas 4 sekolah dasar. Setelah saya baca hampir sembilan puluh persen jawabannya bisa ditemukan di Google. “Kalau mendampingi anak-anak belajar bawa ini,” kata saya pada istri. Saya sodori dia smartphone agar dipakai googling untuk menemukan jawaban setiap pertanyaan. Istri saya tidak pernah bertanya lagi setelah menemukan cara ampuh menjawab soal.

Pengalaman ini mengingatkan saya pada guyonan seorang teman. Dia bercerita, suatu ketika guru dan siswa sepakat ujian boleh dikerjakan dengan membuka buku. Ujian akan dimulai tapi tak seorang pun siswa mengeluarkan buku-bukunya.

“Mengapa kalian tidak mengeluarkan buku pelajaran dan catatan kalian?” tanya bapak guru.

“Cukup pakai ini, Pak,” jawab siswa kompak seraya mengacungkan smartphonenya masing-masing.

Apa arti semua itu? Internet sudah merobohkan tembok-tembok persekolahan. Akses informasi ada di ujung jari. Google telah menggusur fungsi seorang guru yang hanya bertumpu pada pengetahuan belaka. Sekolah beserta perangkatnya terutama buku-buku pelajaran, termasuk Lembar Kerja Siswa, tidak perlu lagi menyodorkan informasi pengetahuan belaka. Mudah kita jumpai hampir semua pengetahuan yang diisi siswa di Lembar Kerja Siswa bersifat know how (keterampilan teknis). Pertanyaan seperti: Apa arti Bhineka Tunggal Ika; Sebutkan jenis-jenis pantun; Sebutkan jenis alat musik ritmis dan cara memainkannya; Sebutkan ciri-ciri bangun kubus, teramat mudah ditemukan jawabanya di Google.

Aplikasi di smartphone menjawab kebutuhan informasi. Dapat dibayangkan perubahan yang melanda pola pikir siswa. Mereka terbiasa mengakses informasi dari banyak sumber. Kabarnya program literasi di sekolah yang mewajibkan setiap siswa menulis resume sebuah novel cepat terselesaikan berkat Google. Mereka berburu resume novel di Google lalu menyalinnya, mencetak, dan mengumpulkannya pada Bapak Ibu guru. Selesai sudah dan gampang sekali.  

Memberikan tantangan atau tugas-tugas sekolah yang bersifat liner tidak bisa diandalkan lagi. Pekerjaan apapun yang bersifat linier apalagi sekedar menjawab apa dan bagaimana akan sangat mudah dilahap oleh siswa cukup berbekal smartphone. Di tengah melimpahnya informasi mereka musti ditantang untuk berfikir tingkat tinggi.  

Dalam hal ini guru dan orangtua perlu kembali berpikir dan meneliti ulang makna dan tujuan pendidikan. Akses belajar sudah bukan monopoli sekolah dan dengan demikian sekolah bukan tempat satu-satunya untuk belajar. Pendidikan bukan sebatas schooling dan learning, bukan sebatas tahu apa dan dapat nilai ujian berapa. Pendidikan bukan untuk melejitkan IQ dan membekali keterampilan, namun juga mengasah rasa, empati, hubungan dengan semesta, dan menemukan tujuan hidup yang hakiki.

Pada dasarnya untuk menjalani hidup siswa tidak cukup berbekal pengetahuan liner dan keterampilan teknis semata (know how). Hanya mengandalkan dua hal ini akan menjadikan anak dan siswa pribadi yang hampa dan bingung. Makna hidup tidak bisa ditemukan dengan hanya berbekal pengetahuan liner dan keterampilan teknis. Indikasinya sungguh gamblang: tawuran antar pelajar, konsumsi narkoba, tragedi bunuh diri menunjukkan redupnya tata nilai kesadaran hidup yang hakiki. Amat memilukan ternyata pelakunya adalah anak-anak muda. Kita sepakat, sekolah bukan tempat menabung tragedi hidup.

Kita tentu mendambakan anak-anak yang pintar, memiliki moral yang tangguh, menghayati nilai-nilai kemanusiaan, serta menunjukkan sikap yang jelas untuk apa menjalani hidup yang teramat singkat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun