Zaman saya masih bocah, ketika televisi masih hitam putih, ketika TVRI adalah satu-satunya tayangan yang menemani malam, ketika jalan di kampung masih tanah, ketika langgar (mushola) menjadi tempat belajar paling menyenangkan, menjelang musim hujan adalah saat yang kami tunggu.
Tidak sulit bagi saya dan kawan-kawan sepermainan untuk mengetahui musim hujan akan segera tiba. Tandanya cukup mudah. Klenteng Hok Liong Kiong di jalan R.E. Martadinata Jombang mulai menggelar pertunjukan wayang titi adalah tanda musim hujan segera tiba.
Biasanya memasuki bulan November, melalui pengeras suara, alunan musik wayang titi khas etnis Tionghoa terdengar sampai di kampung saya. Musik dan suara dalang yang memainkan lakon wayang titi terdengar cukup jelas. Apalagi waktu itu suasana belum bising oleh suara kendaraan bermotor.
Sebelum wayang titi digelar musik pembuka selalu dimainkan mulai pukul 15.30 WIB. Semacam undangan bagi penonton bahwa tigapuluh menit lagi pertunjukan dimulai. Sampai sekarang pun musik pembuka itu dimainkan pada waktu yang tepat.
Setelah saya cermati, memainkan musik pada pukul 15.30 WIB sebelum pertunjukan wayang titi digelar merupakan keputusan yang tepat dan bijaksana. Di Jombang kota adzan asar dikumandangkan sekitar pukul 15.00 WIB. Klenteng Tri Dharma “bersabar” tiga puluh menit, setelah adzan asar dan shalat asar selesai dikerjakan, baru musik pembuka wayang titi dimainkan.
Adapun nama tokoh yang dimainkan di pertunjukan wayang titi, jalan ceritanya, latar belakang sejarah yang menjadi bagian dari cerita, otak kami yang masih bocah sama sekali belum memahaminya. Yang benar-benar kami pahami dan rasakan adalah kegembiraan menyaksikan adegan peperangan pada pertunjukan itu. Kami dibuat kagum oleh dalang wayang titi yang melempar boneka di tengah adegan peperangan lalu menangkapnya lagi.
Selain gembira menikmati pertunjukan gratis, halaman klenteng Hok Liong Kiong yang cukup luas menjadi tempat bermain anak-anak dari kampung sekitar. Permainan tradisional yang memerlukan tanah yang lapang seperti obak sodor, sridendem, sepiring dua piring, sering kami mainkan di sana. Singkat cerita, klenteng Hok Liong Kiong bukan tempat yang asing bagi anak-anak desa Kepatihan dan sekitarnya.
Menanamkan Kerukunan dan Toleransi pada Anak
Keindahan masa kecil dan kerukunan antar umat beragama yang saya alami waktu itu—bahkan ketika Kong Hu Cu belum menjadi agama resmi di Indonesia—merupakan bahan refleksi untuk mengenalkan lingkungan ibadah agama-agama kepada anak-anak, memahami tradisi budayanya yang hingga kini masih kental dilaksanakan, memandang perbedaan bukan sebagai ancaman, saling menghormati sebagai sikap hidup bersama yang damai dan indah.
Selain mengemban misi untuk menanam benih persaudaraan di ladang hati anak-anak, mengenalkan perbedaan tradisi dan budaya kehidupan beragama di sekitar kampung atau desa, merupakan upaya nyata mengedukasi anak-anak agar kenal dan mengenali, paham dan memahami realitas agama, sosial, budaya yang telah mengakar jauh sebelum mereka dilahirkan.