Pertama-tama, saya mohon maaf dengan judul di atas. Permohonan maaf ini semata karena kekurangan saya memilih ungkapan bahasa di tengah kecenderungan masyarakat yang gampang terjebak dalam sikap berpikir konotatif. Supaya tidak terjadi paham yang salah, wajib bagi saya memaparkan terlebih dahulu bahwa judul di atas tidak terutama memperlakukan anak sebagai barang, benda, atau sesuatu yang lain di luar manusia.
Titipan dan pinjaman yang dipakai dalam “view” tulisan ini benar-benar bermakna denotatif, tanpa keinginan mengikis segala dimensi kemakhlukan anak sebagai manusia ciptaan Tuhan. Adapun di tengah perjalanan tulisan ini saya menganalogikan anak dengan benda atau barang tertentu, itu hanya kebutuhan teknis untuk memudahkan pemahaman saja.
Baiklah. Ini semua gara-gara dan seperti biasanya, saya menjadi "tong sampah" bagi beberapa kawan yang sedang mengalami bundelan-bundelan. Kali ini bundelan tentang anak. Kawan saya merasa nyerah dan tidak sanggup lagi memacu prestasi akademik anaknya, yang kini duduk di kelas 5 sekolah dasar. Kegagalan itu memicu kecemasan terhadap nasib masa depan anaknya kelak.
Cemas, jangan-jangan anaknya tidak diterima di SMP favorit. Kalau tidak belajar di SMP favorit, lebih sulit lagi diterima di SMA favorit. Kalau tidak belajar di SMA di favorit, bisa dipastikan kesempatan diterima di PTN favorit menjadi lebih kecil. Dan inilah musibah, yang menurut kawan saya, awal dari kegagalan nasib masa depan anak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sang anak menjalani hidup tanpa bekal pendidikan dari PTN favorit, tanpa pekerjaan, tanpa gaji yang memadai, tanpa status terhormat di masyarakat.
Status sosial kawan saya di mata masyarakat juga menjadi pemicu kecemasan itu. Ia tidak ingin memiliki anak yang gagal. Sebagai seorang pendidik yang digaji pemerintah, ia perlu memastikan masa depan cemerlang anaknya harus ditata sejak sekarang.
Demi dan atas nama masa depan anak, kawan saya menguasai hidup anaknya menit per menit, jam per jam, hingga terakumulasi menjadi satuan minggu, bulan, dan tahun. Menguasai dalam arti yang sebenar-benar menguasai: mengarahkan, memilihkan, menuntun, memaksakan, menutup pilihan-pilihan. Saya katakan padanya, “Kamu seperti menjadi tuhan bagi anakmu.” Ia hanya tertawa lebar.
“Menjadi tuhan bagaimana?”
“Kekuasaanmu pada anak seperti kekuasaan Tuhan pada hamba-Nya.”
“Ah, kamu berlebih-lebihan memandang persoalan yang sudah sewajarnya dilakukan setiap orangtua.”
“Setiap orangtua? Apakah setiap orangtua akan selalu menjadi tuhan bagi anak-anaknya?”
“Bukankah setiap orangtua mendambakan anak-anaknya sukses dan berhasil?”