Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Pun Merasakan Indahnya Merawat Kerukunan Beragama

16 Agustus 2016   14:10 Diperbarui: 16 Agustus 2016   14:19 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang Potehi atau Wayang Titi | Ilustrasi: https://team2art.wordpress.com/2010/05/24/wayang-merupakan-kebudayaan-indonesia-unik/

Zaman saya masih bocah, ketika televisi masih hitam putih, ketika TVRI adalah satu-satunya tayangan yang menemani malam, ketika jalan di kampung masih tanah, ketika langgar (mushola) menjadi tempat belajar paling menyenangkan, menjelang musim hujan adalah saat yang kami tunggu.

Tidak sulit bagi saya dan kawan-kawan sepermainan untuk mengetahui musim hujan akan segera tiba. Tandanya cukup mudah. Klenteng Hok Liong Kiong di jalan R.E. Martadinata Jombang mulai menggelar pertunjukan wayang titi adalah tanda musim hujan segera tiba.

Biasanya memasuki bulan November, melalui pengeras suara, alunan musik wayang titi khas etnis Tionghoa terdengar sampai di kampung saya. Musik dan suara dalang yang memainkan lakon wayang titi terdengar cukup jelas. Apalagi waktu itu suasana belum bising oleh suara kendaraan bermotor.

Sebelum wayang titi digelar musik pembuka selalu dimainkan mulai pukul 15.30 WIB. Semacam undangan bagi penonton bahwa tigapuluh menit lagi pertunjukan dimulai. Sampai sekarang pun musik pembuka itu dimainkan pada waktu yang tepat.

Setelah saya cermati, memainkan musik pada pukul 15.30 WIB sebelum pertunjukan wayang titi digelar merupakan keputusan yang tepat dan bijaksana. Di Jombang kota adzan asar  dikumandangkan sekitar pukul 15.00 WIB. Klenteng Tri Dharma “bersabar” tiga puluh menit, setelah adzan asar dan shalat asar selesai dikerjakan, baru musik pembuka wayang titi dimainkan.

Klenteng Hok Liong Kiong, Jl. R. E. Martadinata Jombang | Foto: http://mapio.net/s/74418650/
Klenteng Hok Liong Kiong, Jl. R. E. Martadinata Jombang | Foto: http://mapio.net/s/74418650/
Setelah mengerjakan shalat asar di langgar, kami segera balapan lari menuju klenteng. Pertunjukan memang belum digelar namun rasa penasaran khas anak-anak bagaimana alat musik itu dimainkan selalu menggoda kami. Pernah kami membuat tebak-tebakan: musik itu suara kaset atau dimainkan secara “live”? Rasa penasaran itu akhirnya terobati setelah melalui usaha mengintip para kru wayang titi melalui pintu yang sedikit terbuka. Empat orang bapak memainkan alat musik secara langsung.

Adapun nama tokoh yang dimainkan di pertunjukan wayang titi, jalan ceritanya, latar belakang sejarah yang menjadi bagian dari cerita, otak kami yang masih bocah sama sekali belum memahaminya. Yang benar-benar kami pahami dan rasakan adalah kegembiraan menyaksikan adegan peperangan pada pertunjukan itu. Kami dibuat kagum oleh dalang wayang titi yang melempar boneka di tengah adegan peperangan lalu menangkapnya lagi.

Selain gembira menikmati pertunjukan gratis, halaman klenteng Hok Liong Kiong yang cukup luas menjadi tempat bermain anak-anak dari kampung sekitar. Permainan tradisional yang memerlukan tanah yang lapang seperti obak sodor, sridendem, sepiring dua piring, sering kami mainkan di sana. Singkat cerita, klenteng Hok Liong Kiong bukan tempat yang asing bagi anak-anak desa Kepatihan dan sekitarnya.

Menanamkan Kerukunan dan Toleransi pada Anak

Keindahan masa kecil dan kerukunan antar umat beragama yang saya alami waktu itu—bahkan  ketika Kong Hu Cu belum menjadi agama resmi di Indonesia—merupakan bahan refleksi untuk mengenalkan lingkungan ibadah agama-agama kepada anak-anak, memahami tradisi budayanya yang hingga kini masih kental dilaksanakan, memandang perbedaan bukan sebagai ancaman, saling menghormati sebagai sikap hidup bersama yang damai dan indah.

Selain mengemban misi untuk menanam benih persaudaraan di ladang hati anak-anak, mengenalkan perbedaan tradisi dan budaya kehidupan beragama di sekitar kampung atau desa, merupakan upaya nyata mengedukasi anak-anak agar kenal dan mengenali, paham dan memahami realitas agama, sosial, budaya yang telah mengakar jauh sebelum mereka dilahirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun