Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semarak Merdeka Belajar Meruntuhkan Stigma Negatif Pendidikan Nasional

30 Mei 2023   01:18 Diperbarui: 30 Mei 2023   01:20 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS/RIZA FATHONI

Beberapa tahun lalu ketika masih mengajar di sekolah dasar, saya kerap menjadi pendamping kegiatan bertajuk Wisata Edukasi. Pesertanya adalah peserta didik kelas lima sekolah dasar. Lokasi kegiatan berada di luar kota Jombang.

Peserta didik harus membayar cukup mahal untuk setiap program. Salah satu kegiatan yang diikuti adalah menanam padi di sawah. Pihak penyelenggara bekerja sama dengan petani lokal menyediakan lahan, bibit padi, dan sapi untuk membajak sawah.

Satu persatu peserta didik naik pembajak sawah yang ditarik seekor sapi. Setelah itu mereka diajak menanam padi.

Mengenang kegiatan itu saya tersenyum dalam hati, meskipun terselip juga rasa sesal. Saya pikir itu kegiatan paling keren. Belum ada sekolah dasar swasta apalagi sekolah dasar negeri yang mampu menyelenggarakannya. Bukan karena apa-apa: biayanya sungguh terbilang mahal.

Padahal beberapa meter di sebelah barat sekolah tempat saya mengajar terhampar sawah. Mengapa waktu itu tidak bekerja sama dengan petani setempat? Mengapa harus jauh pergi keluar kota dan mengeluarkan biaya akomodasi yang cukup mahal?

Jujur saya mengakui itu semua bukan terutama demi kesadaran pendidikan, melainkan demi prestise sekolah yang dinilai unggul. Pengertian unggul di sini diukur melalui biaya pendidikannya yang mahal.

Padahal bahan dan sumber belajar itu melimpah ruah di sekitar lingkungan sekolah. Sumber belajar dapat diakses secara mudah dan murah. Yang diperlukan adalah guru memiliki mindset yang mendukung prinsip-prinsip projek penguatan profil pelajar Pancasila.

Tanpa memiliki mindset yang tepat, sumber daya lingkungan akan terbengkalai. Harapan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna menjadi utopia.

Bagaimana Memulai Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila?

Kalau diibaratkan sebuah ruangan, profil pelajar Pancasila memiliki enam "pintu masuk" yang saling terhubung. Enam pintu itu adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri.

Saya menggunakan analogi ini, selain bertujuan untuk memudahkan pemahaman, juga untuk memberikan gambaran yang utuh tentang profil pelajar Pancasila. Pemahaman dan gambaran yang utuh dinilai penting karena kita kerap melihat Semarak Merdeka Belajar dan visi pendidikan secara parsial. Pandangan yang sepenggal terhadap visi pendidikan dapat menimbulkan sejumlah persoalan yang berakhir dengan kegagalan.

Dari enam pintu masuk menuju "ruangan" profil pelajar Pancasila, pintu manakah yang akan kita masuki? Kita bebas memilih dan menentukan salah satu pintu. Namun, pilihan itu seyogianya tidak diputuskan secara serampangan. Ia harus berangkat dari kajian mendalam tentang kebutuhan mendasar peserta didik.

Lantas, apa kebutuhan peserta didik yang paling mendasar dalam konteks karakter profil pelajar Pancasila? Kita boleh menjawab bahwa semua karakter dibutuhkan dan mendesak untuk diinternalisasikan. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa bernalar kritis merupakan fondasi bagi perilaku peserta didik yang beriman dan bertakwa, berkebinekaan global, bergotong royong, kreatif, dan mandiri.

Masing-masing karakter itu merupakan outcome dari kemampuan peserta didik menerapkan keterampilan critical thinking. Berpikir kritis lebih dari sekadar menjawab soal-soal ujian. Ia memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan antar ide, menyelesaikan masalah, melibatkan diri dalam pemikiran kreatif, dan menggunakan pengetahuan dengan cara yang inovatif.

Keterampilan berpikir kritis tidak hanya relevan dengan mata pelajaran sains dan matematika. Kemampuan ini dinilai penting untuk mencapai kesuksesan di berbagai disiplin ilmu dan memandu perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Projek Profil Pelajar Pancasila dan Critical Thinking

Rasanya jauh panggang dari api kalau penerapan projek profil pelajar Pancasila tidak dibarengi kemampuan bernalar kritis. Seorang guru dipastikan gagal memberikan kesempatan kepada peserta didik "mengalami pengetahuan" ketika atmosfer belajar justru mengekang kebebasan bernalar kritis.

Oleh karena itu, mindset guru harus berubah. Ia tidak lagi menggunakan pendekatan dikotomi benar-salah. Guru bukan hakim yang memutuskan jawaban siapa yang benar dan jawaban siapa yang salah. Setiap jawaban, pendapat, dan pandangan peserta didik ditampung dan dihargai. Analisis peserta didik yang beragam dijadikan bahan pembelajaran bersama.

Proses berpikir kritis tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif. Guru menjadi motivator yang memantik rasa ingin tahu peserta didik, mencontohkan pikiran yang terbuka, dan meneladankan sikap rendah hati.

Oleh karena itu, alih-alih menyodorkan pertanyaan yang disiapkan sebelumnya, guru dapat melatih peserta didik menyusun sejumlah pertanyaan sesuai topik. Dalam konteks berpikir kritis, kemampuan menyusun pertanyaan merupakan keterampilan primer.

Daripada menjelaskan sungai yang dipenuhi sampah, guru dapat mengajukan pertanyaan, "Mengapa sungai di seberang sekolah dipenuhi sampah?" Selanjutnya, peserta didik dipandu membuat pertanyaan menurut versi mereka sendiri.

Dari mana pertanyaan itu dimunculkan? Projek pembelajaran dapat dirancang menggunakan pendekatan berbasis masalah. Pendekatan ini sesuai prinsip kontekstual yang mendasarkan pembelajaran pada pengalaman nyata dalam hidup sehari-hari.

Pembelajaran yang terhubung dengan permasalahan lingkungan sekitar dapat memantik rasa ingin tahu peserta didik. Pembelajaran berbasis masalah juga mendorong sikap kritis dan rasa peduli peserta didik terhadap lingkungan sekitar.

Prinsipnya, sebelum memulai projek penguatan profil pelajar Pancasila dan menyukseskan Semarak Merdeka Belajar, guru harus mengubah mindset agar mampu berpikir kritis dan holistik, kontekstual, berpusat pada peserta didik, dan kontekstual.

Strategi Menerapkan Berpikir Kritis

Berikut ini beberapa strategi yang dapat diterapkan guru untuk melatih peserta didik berpikir kritis. Pertama, menggunakan pertanyaan terbuka sesuai topik pembelajaran. Melalui pertanyaan terbuka peserta didik dimotivasi menemukan jawaban yang mendalam; menganalisis jawaban dari berbagai perspektif untuk memandang sesuatu secara utuh dan menyeluruh; serta menyampaikan pendapat atau argumentasi mereka secara terbuka.

Kedua, mengaitkan gagasan-gagasan yang berbeda merupakan kunci dalam mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Guru dapat bertanya, "Mengapa setiap hari banyak sisa makanan yang terbuang? Bagaimana caranya agar sisa makanan itu tidak terbuang percuma?"

Pertanyaan semacam itu membantu peserta didik mempertimbangkan situasi yang berbeda (sisa makanan yang terbuang), menemukan akar permasalahan, hingga merancang solusi untuk mengatasinya. 

Dipastikan jawaban dan gagasan peserta didik cukup beragam. Gagasan yang berbeda-beda dapat dikaitkan atau ditemukan saling keterkaitannya, lalu dirumuskan menjadi proposisi, atau langkah-langkah solusi.

Ketiga, membuat proyek kelompok diskusi adalah strategi yang efektif untuk mendorong keterampilan berpikir kritis. Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan pemikiran teman sekelasnya, tetapi juga mendapatkan pemahaman yang lebih luas. Mereka menyadari bahwa tidak ada satu pendekatan yang pasti benar dalam menghadapi masalah.

Peserta didik dapat diberi tugas untuk mendiskusikan isu kontroversial atau masalah kompleks di lingkungan sekitar mereka yang memerlukan pemikiran kritis. Mereka harus saling mendengarkan, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan mencari solusi yang terbaik berdasarkan argumen yang kuat. 

Melalui kolaborasi ini peserta didik akan mengembangkan keterampilan berpikir kritis mereka serta menghargai keragaman ide dan pendapat dalam menyelesaikan masalah.

Stigma negatif bahwa pendidikan telah tercerabut dari akar lingkungan; pendidikan menjadikan peserta didik manusia yang asing di lingkungan mereka sendiri; pendidikan telah memenjarakan peserta didik dalam ruang kelas yang sumpek, pelan namun pasti, mulai runtuh oleh Semarak Merdeka Belajar dan projek profil pelajar Pancasila yang ditopang keterampilan berpikir kritis.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun