Beberapa tahun lalu ketika masih mengajar di sekolah dasar, saya kerap menjadi pendamping kegiatan bertajuk Wisata Edukasi. Pesertanya adalah peserta didik kelas lima sekolah dasar. Lokasi kegiatan berada di luar kota Jombang.
Peserta didik harus membayar cukup mahal untuk setiap program. Salah satu kegiatan yang diikuti adalah menanam padi di sawah. Pihak penyelenggara bekerja sama dengan petani lokal menyediakan lahan, bibit padi, dan sapi untuk membajak sawah.
Satu persatu peserta didik naik pembajak sawah yang ditarik seekor sapi. Setelah itu mereka diajak menanam padi.
Mengenang kegiatan itu saya tersenyum dalam hati, meskipun terselip juga rasa sesal. Saya pikir itu kegiatan paling keren. Belum ada sekolah dasar swasta apalagi sekolah dasar negeri yang mampu menyelenggarakannya. Bukan karena apa-apa: biayanya sungguh terbilang mahal.
Padahal beberapa meter di sebelah barat sekolah tempat saya mengajar terhampar sawah. Mengapa waktu itu tidak bekerja sama dengan petani setempat? Mengapa harus jauh pergi keluar kota dan mengeluarkan biaya akomodasi yang cukup mahal?
Jujur saya mengakui itu semua bukan terutama demi kesadaran pendidikan, melainkan demi prestise sekolah yang dinilai unggul. Pengertian unggul di sini diukur melalui biaya pendidikannya yang mahal.
Padahal bahan dan sumber belajar itu melimpah ruah di sekitar lingkungan sekolah. Sumber belajar dapat diakses secara mudah dan murah. Yang diperlukan adalah guru memiliki mindset yang mendukung prinsip-prinsip projek penguatan profil pelajar Pancasila.
Tanpa memiliki mindset yang tepat, sumber daya lingkungan akan terbengkalai. Harapan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna menjadi utopia.
Bagaimana Memulai Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila?
Kalau diibaratkan sebuah ruangan, profil pelajar Pancasila memiliki enam "pintu masuk" yang saling terhubung. Enam pintu itu adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri.