Akhir-akhir ini saya kerap menjumpai fenomena orang yang kebelet, tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginannya. Konteks kebeletnya bisa macam-macam. Mulai dari kebelet ingin cepat-cepat buang air kecil hingga kebelet menduduki kursi kekuasaan tertinggi.
Kalau kebelet pipis orang bisa menahannya hingga batas waktu dan kemampuan tertentu. Begitu momentum itu tiba, segala kemungkinan akan terjadi. Ia bisa buang air kecil di kamar kecil atau malah ngompol.
Bagaimana jika kebelet melilit seseorang atau sekelompok orang atau sekumpulan orang yang berhimpun dalam organisasi politik? Satu yang dapat dipastikan ialah risiko sosial politiknya berbeda dengan sekadar ngompol di celana. Pihak yang terdampak lebih luas dan akibat yang ditimbulkan berpengaruh signifikan terhadap hidup orang banyak.
Namun, adakah yang salah dengan kebelet? Sebagai mekanisme alamiah yang menjadi naluri dasar manusia, kebelet tidak memiliki dosa. Ia murni dan tulus sebagaimana lapar dan haus.
Kebelet tidak bisa disalahkan, umpamanya dituduh menjadi pemicu disintegrasi bangsa, kecuali ia sengaja ditunggangi untuk memuluskan agenda yang bermuara pada egosentrisme kelompok.
Yang mestinya dikoreksi bukan kebelet, tetapi pengelolaan politik sosial ekonomi yang menungganginya, yang mengeksploitasinya, yang memanfaatkannya untuk agenda sepihak yang tersembunyi.
Tema tunggang menunggang ini tidak terjadi pada orang kebelet saja. Situasi rakyat yang menahan lapar dan kebelet ingin makan bisa dikemas sedemikian rupa menjadi tema komoditas perbincangan publik.
Perut lapar menjadi salah satu topik yang cukup seksi untuk diseminarkan, diworkshopkan, dikaji, diteliti, dijadikan sumber inspirasi di hampir setiap bidang hidup manusia.
Politisi meneriakkan jargon membela kepentingan rakyat agar mereka yang selama ini kebelet merasakan keadilan dan kesejahteraan ekonomi tidak mengalami kesulitan mencari makan. Goal yang dicapai bisa jadi tidak menyentuh sama sekali kebeletnya pihak yang dibela.
Pendidikan pun tidak bisa keluar dari topik perut lapar. Sinkronisasi pendidikan dengan dunia industri sesungguhnya upaya agar generasi mendatang tidak mengalami situasi kebelet akibat nganggur terlalu lama. Standarisasi yang diterapkan dunia pendidikan merupakan bukti faktual bahwa manusia perlu menyiapkan dirinya untuk ketelingsut di antara tumpukan mur baut industri.Â
Bahkan tak kurang ajaran agama pun memberikan peringatan yang tegas kepada pemeluknya agar tidak menelantarkan saudaranya yang kelaparan. Terlepas terjadi komersialisasi pada lembaga pengelola dana umat atau tidak, faktanya perputaran uang di sana cukup besar. Dan lagi-lagi, "korporasi" dana umat itu dikelola demi menolong mereka yang kebelet ingin cepat mentas dari kesulitan hidup.
Jadi, tunggang menunggang perihal kebelet sepertinya lumrah terjadi. Kebelet yang awalnya adalah gejala alamiah biologis bergeser menjadi fenomena psikologis. Ia bukan "kasus" individual semata; ia telah menjadi fenomena komunal yang melibatkan sejumlah kepentingan melalui bermacam-macam intrik, strategi, serta pendanaan keuangan yang tidak sedikit.
Tidak heran apabila jalan pintas, keputusan instan, keberanian melakukan shortcut dirasa lebih menggiurkan akibat dorongan kebelet cepat kaya, cepat populer, cepat berkuasa.[] Â
Jagalan, 16 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H