Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Agamanya yang Salah, tapi Manusianya yang Korsleting

4 April 2022   02:55 Diperbarui: 4 April 2022   05:20 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Siapakah di antara kita yang bisa memastikan puasa hari ini diterima Tuhan? Sejauh yang mampu kita dambakan adalah memohon, berharap, semoga puasa kita diterima Tuhan. Selebihnya Tuhan sendiri Yang Maha Tahu kualitas puasa kita.

Oleh karena itu, kita tidak perlu mbagusi, berlagak jadi satpam yang melakukan screening kualitas iman dan takwa orang lain. Atau tidak usah kita berhimpun menjadi panitia pendaftaran masuk surga. Seolah-olah surga adalah peninggalan mbah buyut kita.

Tentu saja sikap beragama seperti itu menjadi ironi dan menimbulkan tragedi. Kita hidup di tengah dinamika zaman yang bukan hanya kian canggih dan modern, namun juga memerlukan kehadiran harkat kemanusiaan yang nyata.

Kita dihadapkan pada dua sisi mata uang yang berlawanan: taat beragama tapi kehilangan harkat kemanusiaan, atau tidak taat beragama agar tetap menjadi manusia.

Dikotomi itu kian menguat seiring dengan praktik kekejaman kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama. Manusia tega membunuh demi memperoleh tiket masuk surga. Nanti manusia bisa semakin sempit cara berpikirnya: untuk bisa masuk surga manusia harus tega membunuh.

Kita pasti sepakat bahwa perbuatan yang kejam dan keji itu tidak direkomendasikan agama apa pun. Perilaku tidak beradab itu murni kejahatan kemanusiaan. Bukan agamanya yang salah, tapi manusianya yang mengalami korsleting pikiran.

Pikiran yang korsleting diawali dan biasanya ditandai oleh sikap berpikir yang cekak, cupet, dan ciut. Cekak, artinya pendek nalar. Cupet, sempit nalar. Ciut, picik nalar. Penyakit cekak, cupet dan ciut merupakan murni kesalahan logika yang tidak bersangkut paut dengan kemurnian dan kesucian agama.

Penindasan, penjajahan, serta kejahatan terhadap martabat manusia kalau dilacak hulu-hilirnya akan kembali pada penyakit cekak, cupet dan ciut. Kegagalan membangun fondasi kemanusiaan itu bisa dipoles melalui kampanye kegagahan ideologi, kekhusyukan ibadah, keikhlasan beramal. Padahal, aslinya, output yang dihasilkan adalah terciptanya tragedi demi tragedi.

Ibadah puasa merupakan antitesis bagi praktik beragama yang outputnya justru mencederai martabat kemanusiaan. Ungkapan gamblangnya adalah dengan menghayati laku puasa kita dipaksa agar kembali menjadi manusia. Bulan Ramadhan adalah bulan kemanusiaan. Bulan ketika para pelaku puasa menyadari bahwa dirinya, ternyata, adalah manusia.

Puasa baru bekerja efektif kalau kita sadar sesadar-sadarnya bahwa kita adalah manusia, makhluk jasmani sekaligus makhluk rohani. Goal-nya adalah la'allakum tattaquun, agar kita menjadi manusia yang bertakwa. Pencapaian takwa ini pun hanya diberikan kepada manusia, tidak kepada ayam, pohon atau batu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun