Ini bukan tulisan tentang lakon teater Mlungsungi yang pentas pada 25-26 Maret 2022 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Saya belum menyaksikan secara langsung teater Reriungan yang naskahnya ditulis oleh Emha Ainun Nadjib. Saya menulis ini setelah membaca "Syair Mlungsungi" dan menemukan gathukannya dengan tema bulan Ramadalan yang sebentar lagi kita memasukinya.
Dalam bahasa Indonesia belum ada padanan kata yang tepat bagi ukara "Mlungsungi". Kata ini kerap digunakan untuk menunjukkan proses pergantian kulit ular. Orang Jawa bilang, "Ular sedang mlungsungi kulit." Artinya, ular mengelupas kulitnya yang lama lalu menggantinya dengan kulit yang baru.
Simbolisme ular mengelupas kulitnya berlangsung dalam aspek kehidupan yang lebih luas. Mlungsungi terjadi pada setiap dinamika perubahan, mulai dari skala global internasional hingga lokal individual.
Tulisan ini tidak sedang mengetengahkan tema mlungsungi dalam dinamika perubahan yang berat, rumit, dan kompleks. Anggap saja kita tengah mengobrolkan tema sederhana yang sejatinya mengandung substansi kesadaran mlungsungi.
Puasa bulan Ramadan misalnya---ibadah ini bisa kita lihat dari sudut pandang mlungsungi. Bahkan pada akhir bulan Ramadan dan memasuki awal bulan Syawal kita tidak segan menyatakan Idul Fitri, kembali kepada kesucian. Â Diri yang tidak suci mengelupas, mlungsungi, berganti diri yang fitri, diri yang suci.
Bagaimana ibadah puasa dapat menjadi metode untuk melepaskan kulit lama yang tidak suci, yang pura-pura, yang palsu, yang tidak sejati?
Kendati kualitas manusia yang fitri sesuai term Idul Fitri, atau dalam bahasa Al-Quran dinyatakan sebagai la'allakum tattaquun, berada dalam relativitas nilai pandang manusia, karena hanya Tuhan yang tahu kualitas yang sesungguhnya--manusia memerlukan momentum kelahiran baru.Â
Puasa sebagai metode mlungsungi mengantarkan pelakunya lahir kembali. Adapun seberapa berkualitas ia berhasil lahir kembali Juri Pengadil yang sejati tetaplah Tuhan sendiri.
Inti puasa adalah imsak: mengendalikan diri, mengerti batas, menerapkan kebijaksanaan empan papan. Jangankan manusia, setiap makhluk ciptaan Tuhan yang melangsungkan dialektika dan dinamika bergerak dalam spektrum imsak. Ia berada dalam batasan "qadar" yang apapun dan siapa pun tidak bisa melanggarnya.
Air membatasi dirinya sehingga tidak mengalir dari dataran rendah menuju dataran tinggi. Ayam patuh pada "takdirnya" sehingga ia tidak menggonggong. Satu biji jagung yang ditanam tidak berbuah mangga. Di tengah tumpukan gula pasir rombongan semut mengangkut beberapa butir saja.Â