Fakta itu juga mengantarkan saya memasuki dimensi kesadaran yang lebih sublim. Â Dari pengalaman sebagai penumpang becak dibawa menuju situasi dialektis antara guru dan murid. Pada dimensi ini saya memperoleh berlaksa-laksa pengetahuan sekaligus pencerahan. Kita bisa memetik ilmu dan hikmah---dari siapa pun, kapan dan di mana pun.
Asem tenan Bapak itu! Ia meninggalkan jejak-jejak pertanyaan. Apa yang kita utamakan dalam hubungan antara guru dan siswa: hubungan antara yang pintar dengan bodoh; hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai; hubungan antara pihak yang selalu benar dengan yang selalu salah; hubungan antara sesama sahabat; hubungan antara sesama pembelajar; hubungan antara yang membayar dengan yang dibayar?
Saya tidak membayangkan kalau yang saya hadapi selama tiga puluh menit perjalanan itu para motivator andal, ustadz selebritis, atau mubaligh kondang. Mungkin saya tidak akan sanggup membayar tarifnya.
Karena demikianlah faktanya: hubungan antara guru dan siswa, sekolah dan wali siswa, kerap dipanglimai logika transaksi. Wani piro? Berani bayar berapa?
Ketika kita bersemangat memperingati Hari Guru, tukang becak yang mengantarkan saya pada dini hari itu akan tetap nangkring di atas becaknya, menunggu penumpang sekaligus murid selanjutnya.[]
Jagalan, 24 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H