"Nyepeda", antara Kebutuhan, Gaya-gayaan, dan Cerita tentang "Siluman", tercatat pada 28 Juni 2020. Saya tidak berhenti menulis meskipun dalam waktu satu tahun lebih itu sesekali dua kali mengintip beberapa tulisan para sahabat di sini.
Satu tahun lebih saya tidak menulis di Kompasiana. Tulisan terakhir,Apa yang mendorong saya pulang kampung ke Kompasiana? Satu di antaranya adalah---sebut saja---kenangan, dan itu masih menempel kuat di urat-urat memori pikiran. Misalnya, kenangan tentang bagaimana Kompasiana menampung ide, gagasan, serta kegelisahan saya terhadap praktik pendidikan di negeri ini.
Bukti kenangan itu menempel sangat kuat adalah pada 25 November yang diperingati sebagai Hari Guru, pikiran saya ditarik untuk pulang kembali, menulis di sini, tentang pendidikan yang bukan pendidikan, guru yang bukan guru, sekolah yang bukan sekolah.
Dan apa kabar, wahai para guru, di Hari Guru? Diam-diam saya mendambakan ada peringatan Hari Murid, Hari Wali Murid, Hari Kepala Sekolah. Apalah arti seorang guru tanpa murid? Apalah arti seorang murid tanpa guru?
Setiap fungsi dan jabatan di sekolah, mulai Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Wali Kelas, guru mata pelajaran hingga petugas kebersihan dan penjaga malam pada dasarnya memiliki peran sebagai guru. Selain karena mereka bekerja di lingkungan pendidikan yang core utamanya adalah ilmu, peran seorang guru bukan hanya dijalankan oleh petugas formal pendidikan.
Yang berpenampilan tidak laiknya guru, atau yang pekerjaan kesehariannya tidak berhubungan dengan ilmu formal sekolah atau pendidikan tinggi, atau yang bahkan dianggap tidak pantas dijadikan guru---sesungguhnya memiliki muatan peran sebagai "guru".
Tukang becak motor (bentor) di pasar Peterongan Jombang yang mengantarkan saya pulang pada dini hari yang sangat dingin harus saya hormati sebagai guru.
Di tengah perjalanan dini hari yang dingin, tiba-tiba pria yang usianya saya perkirakan 60-an tahun itu memberhentikan becaknya. Saya pikir ban gembos. "Ada apa, Pak?" tanya saya. Ia turun dari becak, melepas jaket, lalu menyerahkannya kepada saya. "Monggo dipakai supaya tidak dingin," ujarnya. Saya terperanjat dan terbata-bata mengucapkan terima kasih.
Adegan selanjutnya adalah sepanjang perjalanan ia mewedar "kuliah umum" tentang hakikat tolong menolong, ngajeni sesama hamba Tuhan, keikhlasan menjalani pekerjaan seberat apa pun itu pekerjaan, hikmah tauhid Gusti Allah mboten sare.
Begitu indah dan bijaksana ia menasihati saya hingga tidak terasa becak tiba di depan rumah.
Pekerjaannya memang tukang becak, namun hakikat peran yang dijalaninya adalah kebijaksanaan seorang guru kepada murid. Mungkin ia tidak menyadarinya. Kendati demikian kurang ajar sekali kalau saya memandang sebelah mata ia sekadar orang tua penarik becak.